Semua orang tahu semboyan Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya
berbeda-beda tetap satu jua. Ketika ditanya dari mana semboyan itu berasal,
saya rasa sebagian besar tahu bahwa ungkapan itu tercantum dalam kitab Sutasoma
karangan Mpu Tantular. Tapi, pernahkah anda membaca kitab itu? Tahukah anda apa
isi kitab itu? Dan pada bagian mana Bhineka
Tunggal Ika disebutkan?
Kebetulan saya punya buku itu. Kakawin Sutasoma oleh Mpu
Tantular terbitan Komunitas Bumbu yang disertai terjemahan oleh Dwi Woro Retno
Mastuti dan Hastho Bramantyo. Akan saya sampaikan sinopsisnya.
Berbeda dengan Negarakretagama yang merupakan catatan
nyata Sang Mpu Prapanca selama mengikuti perjalanan Raja Majapahit mengelilingi
kerajaan, Kitab Sutasoma sepertinya lebih bernilai sasta daripada sejarah. Bisa
dibilang kitab ini adalah sekuel dari Mahabarata karena setting tempat
ceritanya sama, kerajaan Hastina dan sekitarnya, dan setting waktunya sendiri
jauh bertahun-tahun setelah kematian para pandawa.
Tokoh utama dalam Kakawin Sutasoma bernama Sutasoma
(disebut juga Mahajina). Dia adalah putra
mahkota kerajaan Hastina, lahir dari pasangan Raja Mahaketu dan Dewi Prajnyadhari.
Diceritakan dia adalah titisan Batara Jina (Sang Budha) dan ketika kelahirannya
mambawa berkah bagi seluruh alam. Yang sakit sembuh, orang albino mejadi tidak
albino lagi, orang sakit kulit sembuh, dan seterusnya. Mirip seperti kisah
kelahiran Sidharta Gautama.
Dikisahkan Pangeran Sutasoma tumbuh dewasa dengan cepat.
Parasnya sangat rupawan sehingga membuat kaum hawa diseluruh kerajaan Hastina
jatuh hati padanya. Namun, Sang Sutasoma tidak berminat untuk kawin. Dia tidak
ingin menikah, tidak ingin menikmati kebahagiaan dunia. Bahkan tidak ingin
menduduki kursi raja Hastina menggantikan ayahnya. Padahal, semua orang sudah
menunggu Sutasoma naik menjadi raja karena telah tersohor bahwa dia adalah
orang yang sangat pandai lagi berbudi mulia selain sebagai seorng yang rupawan.
Satu-satunya keinginannya adalah untuk menjadi pertapa yang itu artinya dia
akan melupakan segala urusan duniawi. Padahal, saat itu dunia sedang kisruh
karena kekacauan yang dibuat raja raksasa bernama Porusada (merupakan nama
dalam wujud jahatnya yang berarti penjagal manusia karena dikisahkan raja
Porusada suka memakan manusia, nama aslinya Raja Ratnakanda). Dan telah
diramalkan bahwa Sang Titisan Budha inilah satu-satunya yang bisa mengalahkan
raksasa itu.
Sutasoma kukuh pada pendiriannya. Maka, berangkatlah ia
diam-diam keluar dari kerajaan untuk bertapa di gunung Semeru.
Dalam perjalanan menuju pertapaannya, Sutasoma dibantu
oleh pertapa bernama Kesawa. Dalam perjalanannya menuju gunung Semeru, Sutasoma
bertemu seorang makhluk jahat berkepala gajah yang bernama Gajawaktra.
Dikisahkan, Sang Sutasoma mendatangi Gajawaktra untuk memberinya peringatan
agar tidak berbuat jahat lagi. Gajawaktra marah, dia hendak menyerang Sutasoma.
Tapi, seketika dia dikalahkan oleh Sutasoma dan akhitnya ia bertobat.
Selanjutnya, berturut-turut hal yang sama terjadi pada Nagaraja, seekor naga,
dan Ratu Macan. Mereka semua bertobat dan menjadi murid dari Sutasoma.
Setelah sampai di pertapaannya, Sutasoma bertapa
sendirian. Beragam cobaan didapatkannya, namun semua dapat dilaluinya.
Diceritakan bahwa para dewa di kayangan tidak rela Sutasoma menjadi pertapa.
Mereka ingin agar Sang Titisan Budha naik takhta, menjadi raja, memimpin dunia,
dan memerangi angkara sehingga damailah seluruh dunia. Untuk itu, dikirimlah
dewi-dewi cantik untuk menggoda Sutasoma agar dia terbangun dari tapanya.
Tapi, Sutasoma teguh dalam pertapaannya. Dewi-dewi cantik
yang menggodanya tidak dia hiraukan. Hingga akhirnya Dewa Indra yang turun
tangan. Dewa Indra menjelma menjadi seorang perempuan yang sangat cantik.
Ratusan kali lebih cantik dari dewi tercantik di Kayangan. Namun, Sutasoma
tetap teguh. Ia tidak tertarik sama sekali dengan godaan-godaan yang di
lancarkan perempuan cantik penjelmaan Indra.
Merasa yang ia lakukan percuma, Indra kembali ke wujud
aslinya. Lalu, ia memohon agar Sutasoma membatalkan tapanya. Ia memohon agar
Sutasoma berbelas kasih pada seluluh dunia yang akan sengsara jika Sutasoma
menjadi pertapa. Jika Sutasoma menjadi pertapa, maka kejahatan tidak ada yang bisa
memerangi. Akhirnya, dunia jatuh pada kegelapan dan kesengsaraan. Dengan cara
ini, akhirnya Sutasoma bersedia mengakhiri tapanya.
Setelah mengakhiri tapanya, Sutasoma kembali ke kerajaan
Hastina. Dalam perjalanan pulangnya, ia melewati Negeri Kasipura, kerajaan
milik saudara sepupunya Raja Datraputra. Raja Datraputra disebit pula Raja
Dasabahu karena saat bertarung bisa berubah wujud menjadi bertangan sepuluh. Lalu,
Sutasoma dinikahkan dengan adik bungsu Raja Dasabahu yang bernama Candrawati.
Sutasoma dan Candrawati menikah di sebuah pulau yang sangat indah bagaikan
syurga.
Setelah pernikahan itu, Sutasoma pulang ke Hastina dan
naik takhtalah ia.
Sementara itu, di tempat lain, dikisahkan Raja Porusada,
Sang Raja Raksasa tengah terluka parah dan hampir mati. Lalu, ia memohon pada
Batara Kala agar ia disembuhkan. Sebagai gantinya, ia bernazar akan
mempersembahkan seratus raja manusia untuk santapan Batara Kala. Permohonan
Porusada dikabulkan. Seketika ia sembuh. Setelah itu, mulailah ia berburu raja
manusia untuk dipersembahkan hidup-hidup pada Batara Kala.
Porusada menyebabkan banyak perang. Seluruh dunia dibuatnya
geger.
Singkat cerita, seratus orang raja telah dikumpulkan Raja
Porusada untuk dipersembahkan pada Kala. Tapi, Batara Kala menolaknya. Ia
mengatakan bahwa raja-raja itu tidak patut untuk menjadi santapannya. Sebagai
gantinya, ia menginginkan raja Hastina. Batara Kala ingin agar Porusada
mempersembahkan Raja Sutasoma untuk menjadi santapannya.
Maka, berangkatlah Porusada dengan membawa pasukan dan
raja-raja bawahannya berperang ke Hastina.
Dengan cepat, berita itu sampai ke Hastina. Mendengar
bahwa Kala menginginkan dirinya, Sutasoma berniat untuk menyerahkan diri. Hal
itu demi menghindari jatuhnya korba jika sampai Porusada membawa pasukannya
merusak kerajaan. Namun, para kesatria dan raja-raja bawahannya tidak rela.
Terutama adalah sang Mahapatih Jayapati dan sepupu raja sendiri, Raja Dasabahu.
Maka, berangkatlah pasukan Hastina dengan dipimpin mereka menemui pasukan Raja
Porusada dalam perang.
Diceritakan, perang sangat dahsyat. Perang terjadi siang
dan malam karena di malam hari, kobaran api menyala terang bagaikan siang.
Korban yang jatuh jutaan dari kedua belah pihak. Pada hari0hari terakhir,
Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga ikut gugur di medan laga.
Akhirnya, Raja Sutasoma turun sendiri ke medan perang
dengan mengendarai keretanya. Keajaiban terjadi mengiringi kedatangan Sang Raja
Titisan Budha. Ketika ia lewat, segala kerusakan hilang. Pohon-pohon yang
terbakar hijau kembali. Prajurit-prajurit yang mati hidup kembali baik manusia
maupun raksasa. Termasuk Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga hidup
kembali. Raja Sutasoma mendatangi Porusada untuk menyerahkan diri. Ia rela
dirinya dipersembahkan pada Batara Kala asalkan Porusada tidak melanjutkan
perang yang akan membawa banyak kesusahan.
Namun, Porusada yang tidak mengetahui hal itu berniat
menyerang Sutasoma. Ia mengeluarkan aneka macam senjatanya yang sangat ampuh
untuk menyerang Rutasoma. Tapi, semuanya tidak mempan. Akhirnya, ia merubah
wujudnya menjadi Kalagnirudra yang sangat menakutkan. Ia seperti hendak
menghancurkan dunia.
Melihat hal itu, Para dewa menjadi takut. Lalu, mereka
turun dan memelas pada Porusada:
“Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal
ini! Punyailah belas kasih pada makhluk-makhlukmu yang hancur sebelum
berakhirnya zaman(yuganta).
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau
hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun
dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan
antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa.
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam
selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu
sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama.
Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan hana
Dharma Mangrwa)”**
Namun, kemurkaan Porusada tidak mereda. Akhirnya, para
dewa memohon pada Sutasoma agar memusnahkan kemurkaan Porusada. Sutasoma
mengabulkannya. Ia mengeluarkan senjata bajra yang bersinar terang seperti
matahari. Sinarnya menerangi Porusada. Dan, seketika, hilanglah keangkaraan
Porusada. Ia menjadi jinak, terjernihkan hatinya.
Setelah Porusada menjadi baik, ia memohon maaf pada
Sutasoma. Ia mengaku bahwa sesungguhnya ia hanya terpaksa demi menuruti
keinginan Batara Kala karena terikat janji. Ia juga memohon agar Sutasoma
mengurungkan niatnya menyerahkan diri pada Batara Kala. Namun, Sutasoma
menolak. Ia meminta agar Porusada mengantarkannya kepada Batara Kala. Ia harus
menyerahkan dirinya agar bisa menyelamatkan seratus orang raja yang tengah
disekap di kediaman Kala. Dengan berat hati, Porusada mengantarkannya.
Sesampainya di kediaman Batara Kala, Sutasoma langsung
menemui Batara Kala dan mengatakan bahwa ia siap di santap sang Kala asalkan
seratus orang raja yang telah dia sekap dibebaskan. Batara Kala menyetujuinya.
Ia melepaskan seratus orang raja dan hendak menelan Sutasoma.
Tapi, ketika Kala mulai memasukkan Sutasoma ke dalam
mulutnya, ketika tubuh Sutasoma menyentuh pangkal tenggorokan Kala, Kala
berhenti menelan. Kejahatan dalam diri Kala telah hilang oleh kesucian hati
Sutasoma. Sutasoma menyuruh Kala untuk meneruskan menelannya. Tapi, Kala malah
urung menelan Sutasoma. Lalu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak
bermaksud menyantap Sutasoma. Ia mnyuruh Porusada membawa Sutasoma padanya
sebenarnya karena mendengar kemasyhuran Sutasoma dalam menjernihkan kejahatan
yang ada dalam diri seseorang.
Sejak itu, Batara Kala bertobat. Ia melakukan tapabrata
hingga akhirnya berwujud kembali sebagai Hyang Pasupati. Raja Ratnakanda/Porusada juga
melaksanakan tapa dengan mengajak banyak raksasa lain. Sejak itu, raksasa tidak
lagi berbuat jahat. Dunia aman sejahtera. Raja Ratnakanda akhirnya menjadi
pengawal Buddha di Jinalaya. Dia tidak lagi berwujud raksasa.
Demikian kisah yang diceritakan pada Kitab Sutasoma. Yang
perlu diperhatikan kitab ini adalah kitab yang ditulis Mpu Tantular untuk
menjembatani perbedaan keyakinan antara penganut Hindu dan Budha pada masa
kerajaan Majapahit. Karena itu, kalimat ”Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa”
lebih ditujukan untuk tidak membeda-bedakan antara agama Hindu dan Budha.
Sedangkan Bhineka Tunggal Ika yang kita anut sebagai Bangsa Indonesia
pengertiannya lebih diperluas. Bhineka Tunggal Ika yang kita anut
ialah mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan yang ada pada bangsa ini.
Perbedaan suku, agama, bahasa induk, budaya, dan lain-lain. Biarpun berbeda,
kita tetap satu, Bangsa Indonesia.
* Sumber: Buku Kakawin
Sutasoma karangan Mpu Tantular, penerjemah Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho
Bramantyo, penerbit Komunitas bambu, Jakarta, 2009
** Bagian yang berhuruf
merah adalah kutipan langsung dari buku sumber halaman 503 baris ke 20-27
diteruskan halaman 505 baris 1-7.