Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Senin, 16 Juli 2012

Mempelajari BHINEKA TUNGGAL IKA dari Sumbernya


Semua orang tahu semboyan Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetap satu jua. Ketika ditanya dari mana semboyan itu berasal, saya rasa sebagian besar tahu bahwa ungkapan itu tercantum dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Tapi, pernahkah anda membaca kitab itu? Tahukah anda apa isi kitab itu? Dan pada bagian mana Bhineka Tunggal Ika disebutkan?

Kebetulan saya punya buku itu. Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular terbitan Komunitas Bumbu yang disertai terjemahan oleh Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. Akan saya sampaikan sinopsisnya.

Berbeda dengan Negarakretagama yang merupakan catatan nyata Sang Mpu Prapanca selama mengikuti perjalanan Raja Majapahit mengelilingi kerajaan, Kitab Sutasoma sepertinya lebih bernilai sasta daripada sejarah. Bisa dibilang kitab ini adalah sekuel dari Mahabarata karena setting tempat ceritanya sama, kerajaan Hastina dan sekitarnya, dan setting waktunya sendiri jauh bertahun-tahun setelah kematian para pandawa.

Tokoh utama dalam Kakawin Sutasoma bernama Sutasoma (disebut juga Mahajina). Dia adalah putra mahkota kerajaan Hastina, lahir dari pasangan Raja Mahaketu dan Dewi Prajnyadhari. Diceritakan dia adalah titisan Batara Jina (Sang Budha) dan ketika kelahirannya mambawa berkah bagi seluruh alam. Yang sakit sembuh, orang albino mejadi tidak albino lagi, orang sakit kulit sembuh, dan seterusnya. Mirip seperti kisah kelahiran Sidharta Gautama.

Dikisahkan Pangeran Sutasoma tumbuh dewasa dengan cepat. Parasnya sangat rupawan sehingga membuat kaum hawa diseluruh kerajaan Hastina jatuh hati padanya. Namun, Sang Sutasoma tidak berminat untuk kawin. Dia tidak ingin menikah, tidak ingin menikmati kebahagiaan dunia. Bahkan tidak ingin menduduki kursi raja Hastina menggantikan ayahnya. Padahal, semua orang sudah menunggu Sutasoma naik menjadi raja karena telah tersohor bahwa dia adalah orang yang sangat pandai lagi berbudi mulia selain sebagai seorng yang rupawan. Satu-satunya keinginannya adalah untuk menjadi pertapa yang itu artinya dia akan melupakan segala urusan duniawi. Padahal, saat itu dunia sedang kisruh karena kekacauan yang dibuat raja raksasa bernama Porusada (merupakan nama dalam wujud jahatnya yang berarti penjagal manusia karena dikisahkan raja Porusada suka memakan manusia, nama aslinya Raja Ratnakanda). Dan telah diramalkan bahwa Sang Titisan Budha inilah satu-satunya yang bisa mengalahkan raksasa itu.

Sutasoma kukuh pada pendiriannya. Maka, berangkatlah ia diam-diam keluar dari kerajaan untuk bertapa di gunung Semeru.

Dalam perjalanan menuju pertapaannya, Sutasoma dibantu oleh pertapa bernama Kesawa. Dalam perjalanannya menuju gunung Semeru, Sutasoma bertemu seorang makhluk jahat berkepala gajah yang bernama Gajawaktra. Dikisahkan, Sang Sutasoma mendatangi Gajawaktra untuk memberinya peringatan agar tidak berbuat jahat lagi. Gajawaktra marah, dia hendak menyerang Sutasoma. Tapi, seketika dia dikalahkan oleh Sutasoma dan akhitnya ia bertobat. Selanjutnya, berturut-turut hal yang sama terjadi pada Nagaraja, seekor naga, dan Ratu Macan. Mereka semua bertobat dan menjadi murid dari Sutasoma.

Setelah sampai di pertapaannya, Sutasoma bertapa sendirian. Beragam cobaan didapatkannya, namun semua dapat dilaluinya. Diceritakan bahwa para dewa di kayangan tidak rela Sutasoma menjadi pertapa. Mereka ingin agar Sang Titisan Budha naik takhta, menjadi raja, memimpin dunia, dan memerangi angkara sehingga damailah seluruh dunia. Untuk itu, dikirimlah dewi-dewi cantik untuk menggoda Sutasoma agar dia terbangun dari tapanya.

Tapi, Sutasoma teguh dalam pertapaannya. Dewi-dewi cantik yang menggodanya tidak dia hiraukan. Hingga akhirnya Dewa Indra yang turun tangan. Dewa Indra menjelma menjadi seorang perempuan yang sangat cantik. Ratusan kali lebih cantik dari dewi tercantik di Kayangan. Namun, Sutasoma tetap teguh. Ia tidak tertarik sama sekali dengan godaan-godaan yang di lancarkan perempuan cantik penjelmaan Indra.

Merasa yang ia lakukan percuma, Indra kembali ke wujud aslinya. Lalu, ia memohon agar Sutasoma membatalkan tapanya. Ia memohon agar Sutasoma berbelas kasih pada seluluh dunia yang akan sengsara jika Sutasoma menjadi pertapa. Jika Sutasoma menjadi pertapa, maka kejahatan tidak ada yang bisa memerangi. Akhirnya, dunia jatuh pada kegelapan dan kesengsaraan. Dengan cara ini, akhirnya Sutasoma bersedia mengakhiri tapanya.

Setelah mengakhiri tapanya, Sutasoma kembali ke kerajaan Hastina. Dalam perjalanan pulangnya, ia melewati Negeri Kasipura, kerajaan milik saudara sepupunya Raja Datraputra. Raja Datraputra disebit pula Raja Dasabahu karena saat bertarung bisa berubah wujud menjadi bertangan sepuluh. Lalu, Sutasoma dinikahkan dengan adik bungsu Raja Dasabahu yang bernama Candrawati. Sutasoma dan Candrawati menikah di sebuah pulau yang sangat indah bagaikan syurga.

Setelah pernikahan itu, Sutasoma pulang ke Hastina dan naik takhtalah ia.

Sementara itu, di tempat lain, dikisahkan Raja Porusada, Sang Raja Raksasa tengah terluka parah dan hampir mati. Lalu, ia memohon pada Batara Kala agar ia disembuhkan. Sebagai gantinya, ia bernazar akan mempersembahkan seratus raja manusia untuk santapan Batara Kala. Permohonan Porusada dikabulkan. Seketika ia sembuh. Setelah itu, mulailah ia berburu raja manusia untuk dipersembahkan hidup-hidup pada Batara Kala.

Porusada menyebabkan banyak perang. Seluruh dunia dibuatnya geger.

Singkat cerita, seratus orang raja telah dikumpulkan Raja Porusada untuk dipersembahkan pada Kala. Tapi, Batara Kala menolaknya. Ia mengatakan bahwa raja-raja itu tidak patut untuk menjadi santapannya. Sebagai gantinya, ia menginginkan raja Hastina. Batara Kala ingin agar Porusada mempersembahkan Raja Sutasoma untuk menjadi santapannya.

Maka, berangkatlah Porusada dengan membawa pasukan dan raja-raja bawahannya berperang ke Hastina.

Dengan cepat, berita itu sampai ke Hastina. Mendengar bahwa Kala menginginkan dirinya, Sutasoma berniat untuk menyerahkan diri. Hal itu demi menghindari jatuhnya korba jika sampai Porusada membawa pasukannya merusak kerajaan. Namun, para kesatria dan raja-raja bawahannya tidak rela. Terutama adalah sang Mahapatih Jayapati dan sepupu raja sendiri, Raja Dasabahu. Maka, berangkatlah pasukan Hastina dengan dipimpin mereka menemui pasukan Raja Porusada dalam perang.

Diceritakan, perang sangat dahsyat. Perang terjadi siang dan malam karena di malam hari, kobaran api menyala terang bagaikan siang. Korban yang jatuh jutaan dari kedua belah pihak. Pada hari0hari terakhir, Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga ikut gugur di medan laga.

Akhirnya, Raja Sutasoma turun sendiri ke medan perang dengan mengendarai keretanya. Keajaiban terjadi mengiringi kedatangan Sang Raja Titisan Budha. Ketika ia lewat, segala kerusakan hilang. Pohon-pohon yang terbakar hijau kembali. Prajurit-prajurit yang mati hidup kembali baik manusia maupun raksasa. Termasuk Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga hidup kembali. Raja Sutasoma mendatangi Porusada untuk menyerahkan diri. Ia rela dirinya dipersembahkan pada Batara Kala asalkan Porusada tidak melanjutkan perang yang akan membawa banyak kesusahan.

Namun, Porusada yang tidak mengetahui hal itu berniat menyerang Sutasoma. Ia mengeluarkan aneka macam senjatanya yang sangat ampuh untuk menyerang Rutasoma. Tapi, semuanya tidak mempan. Akhirnya, ia merubah wujudnya menjadi Kalagnirudra yang sangat menakutkan. Ia seperti hendak menghancurkan dunia.

Melihat hal itu, Para dewa menjadi takut. Lalu, mereka turun dan memelas pada Porusada:
“Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal ini! Punyailah belas kasih pada makhluk-makhlukmu yang hancur sebelum berakhirnya zaman(yuganta).
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa.
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan hana Dharma Mangrwa)**

Namun, kemurkaan Porusada tidak mereda. Akhirnya, para dewa memohon pada Sutasoma agar memusnahkan kemurkaan Porusada. Sutasoma mengabulkannya. Ia mengeluarkan senjata bajra yang bersinar terang seperti matahari. Sinarnya menerangi Porusada. Dan, seketika, hilanglah keangkaraan Porusada. Ia menjadi jinak, terjernihkan hatinya.

Setelah Porusada menjadi baik, ia memohon maaf pada Sutasoma. Ia mengaku bahwa sesungguhnya ia hanya terpaksa demi menuruti keinginan Batara Kala karena terikat janji. Ia juga memohon agar Sutasoma mengurungkan niatnya menyerahkan diri pada Batara Kala. Namun, Sutasoma menolak. Ia meminta agar Porusada mengantarkannya kepada Batara Kala. Ia harus menyerahkan dirinya agar bisa menyelamatkan seratus orang raja yang tengah disekap di kediaman Kala. Dengan berat hati, Porusada mengantarkannya.

Sesampainya di kediaman Batara Kala, Sutasoma langsung menemui Batara Kala dan mengatakan bahwa ia siap di santap sang Kala asalkan seratus orang raja yang telah dia sekap dibebaskan. Batara Kala menyetujuinya. Ia melepaskan seratus orang raja dan hendak menelan Sutasoma.

Tapi, ketika Kala mulai memasukkan Sutasoma ke dalam mulutnya, ketika tubuh Sutasoma menyentuh pangkal tenggorokan Kala, Kala berhenti menelan. Kejahatan dalam diri Kala telah hilang oleh kesucian hati Sutasoma. Sutasoma menyuruh Kala untuk meneruskan menelannya. Tapi, Kala malah urung menelan Sutasoma. Lalu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak bermaksud menyantap Sutasoma. Ia mnyuruh Porusada membawa Sutasoma padanya sebenarnya karena mendengar kemasyhuran Sutasoma dalam menjernihkan kejahatan yang ada dalam diri seseorang.

Sejak itu, Batara Kala bertobat. Ia melakukan tapabrata hingga akhirnya berwujud kembali sebagai Hyang Pasupati. Raja Ratnakanda/Porusada juga melaksanakan tapa dengan mengajak banyak raksasa lain. Sejak itu, raksasa tidak lagi berbuat jahat. Dunia aman sejahtera. Raja Ratnakanda akhirnya menjadi pengawal Buddha di Jinalaya. Dia tidak lagi berwujud raksasa.

Demikian kisah yang diceritakan pada Kitab Sutasoma. Yang perlu diperhatikan kitab ini adalah kitab yang ditulis Mpu Tantular untuk menjembatani perbedaan keyakinan antara penganut Hindu dan Budha pada masa kerajaan Majapahit. Karena itu, kalimat Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa” lebih ditujukan untuk tidak membeda-bedakan antara agama Hindu dan Budha. Sedangkan Bhineka Tunggal Ika yang kita anut sebagai Bangsa Indonesia pengertiannya lebih diperluas. Bhineka Tunggal Ika yang kita anut ialah mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan yang ada pada bangsa ini. Perbedaan suku, agama, bahasa induk, budaya, dan lain-lain. Biarpun berbeda, kita tetap satu, Bangsa Indonesia.

*    Sumber: Buku Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular, penerjemah Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo, penerbit Komunitas bambu, Jakarta, 2009
** Bagian yang berhuruf merah adalah kutipan langsung dari buku sumber halaman 503 baris ke 20-27 diteruskan halaman 505 baris 1-7.

2 komentar: