Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Selasa, 10 Desember 2013

Selo, Mobil Listrik, Ki Ageng Selo


Nama Selo akhir-akhir ini marak dibicarakan. Di Surabaya, baru-baru ini Selo diarak di jalan-jalan bersama dengan Ahmadi dan Levina. Selo adalah nama salah satu prototype mobil listrik nasional,

Pada posting kali ini, saya tidak akan panjang-panjang membahas mengenai proyek mobnas listrik pemerintah itu. Saya hanya akan membahas nama Selo.

Selo? Nama apa itu sebenarnya? Apa hubungannya dengan mobil listrik?

Saya tidak bisa memastikan apa yang ada di benak pencipta ketika memberimobil itu dengan nama Selo. Tapi, dalam buku sejarah Jawa, pada zaman kerajaan Demak pernah dikenal seorang tokoh kenamaan bernama Ki Ageng Selo.

Mungkin agak kontrifersial. Tapi, bisa saya katakan Ki Ageng Selo adalah ilmuwan Jawa pertama (yang tercatat dalam sejarah) yang menemukan baterai listrik.

Hah??? Serius???

Sekali lagi, memang saya akui pernyataan saya barusan itu kontrofersial. Tapi, memang itulah yang saya dapatkan setelah menerjemahkan pesan tersirat yang ada di buku Babad Tanah Jawi.

Pada terjemahan Babad Tanah Jawi yang diterbitkan penerbit Narasi, bab “Ki Ageng Selo Menangkap Petir” (hal. 58) tertulis:

Kembali ke cerita sebelumnya, ketika Kanjeng Sultan masih berkuasa di Demak, waktu itu Ki Ageng Selo sedang pergi ke sawah membawa cangkul dalam keadaan hujan. Saat itu menjelang ashar, setibanya di sawah terus mencangkul. Baru memperoleh tiga cangkulan lalu ada kilat datang dalam rupa seorang laki-laki. Kyai Ageng tahu bahwa kilat harus segera ditangkap. Kilat itu berbunyi menggelegar. Ki Ageng kukuh memegangnya. Kilat lalu diikat, diserahkan ke Demak. Kilat lalu dipenjara besi. Sang Prabu lalu memberi perintah, kilat itu tidak diperkenankan diberi air. Orang-orang Demak besar kecil semua ingin melihat. Lalu ada seorang perempuan tua memberi air dengan tempurung. Ia adalah istri dari kilat yang dipenjara itu. Kilatdi dalam penjara setelah menerima air itu lalu berbunyi menggelegar, penjara besi hancur seketika, kedua kilat hilang bersama.

Memang dalam kutipan itu, tidak secara langsung dijelaskan bahwa Ki Ageng Selo menemukan baterai listrik. Lebih dari itu, cerita tersebut terkesan mistis. Tapi, memang begitulah biasanya sebuah catatan kuno. Kelihatannya mistis. harus dibedah dengan pemahaman yang tepat, baru akan ditemukan pesan sesungguhnya.

Dan hasil pembedahan saya adalah:

Pada masa Demak, Ki Ageng Selo berhasil membuat sebuah baterai listrik. Bagian tertentu dari baterai tersebut terbuat dari logam, karena itu dalam kutipan Babad Tanah Jawi disebutkan kilat dipenjara besi. Lalu, Ki Ageng Selo memamerkan penemuannya pada Sultan Demak.

Sebagaimana suatu benda yang bermuatan listrik, maka baterai itu tidak boleh sampai basah. Maka, tersebutkah dalam Babad Tanah Jawi bahwa sang Prabu memerintahkan agar si kilat tidak diperkenankan diberi air. Tapi, suatu ketika baterai Ki Ageng Selo terkena air. Dan sebagaimana benda listri terkena air, benda itu mengalami konsleting hingga menimbulkan suara letusan dan percikan api. Kejadian konsleting itu disiratkan Babad Tanah Jawi melalui kisah seorang perempuan tua memberi air dengan tempurung. Karena diceritakan bunyi tersebut menggelegar, itu juga sekaligus menjadi pertanda bahwa baterai ciptaan Ki Ageng Selo adalah baterai dengan muatan listrik cukup tinggi.

Percaya tidak percaya, terserah anda. Tapi, bagi saya ini sangat masuk akal.

Jumat, 15 November 2013

HIDEE - Cahaya Biru Menuju Purnama





Judul      : Hidee - Cahaya Biru Menuju Purnama
Penulis   : Hasan Irsyad
Penerbit : Senja












Semburat cahaya biru memancar ke langit begitu Hidee mencabut Pedang Hitam. Semua mulut dan semua mata terbuka lebar, terpesona oleh pemandangan yang mereka lihat. Cahaya biru memancar lurus ke atas, membelah gelapnya malam, seolah-olah ingin membangun jembatan, menghubungkan bumi dengan purnama yang sedang berada di tengah-tengah.

Hidee menghilang dari barisan pasukan yang akan menyerang Kerajaan Ashira. Bukan. Bukan karena dia takut, tapi karena tahu bawa perang itu bukan untuknya. Perang yang sesungguhnya adalah bagian dari bangsa gergasi.

Hidee tak pernah menyangka kepergiannya menjadi kunci penemuan Pedang Hitam. Itulah bekal yang ia gunakan untuk maju ke medan peperangan. Dia telah berubah menjadi seorang kesatria yang siap membela Pangeran Diangga, putra mahkota Kerajaan Lakapuri yang sah…

lihat di web penerbit

Dibalik Lahirnya Hidee


Akhirnya terbit juga. Begitulah kira-kira perasaaan saya melihat novel pertama saya telah terpegang di tangan. Yup, yang di samping itu adalah penampakan covernya.

Ssst!!!
Bisa dibilang sebenarnya pengerjaan Novel ini adalah proyek coba-coba saya, dulu. Tapi, malah kemudian dari proyek coba-coba ini, saya belajar banyak hal.

Ketika itu adalah masa-masa kelam hidup saya. Patah hati, kuliah bermasalah, dan galau tentang masa depan. Ketika saya mulai menulis dulu, awalnya saya melakukan itu dengan tujuan sebagai profesi alternatif saya karena sudah menduga bakal gagal dalam kuliah saya di jurusan teknik waktu itu. Waktu itu, saya pikir menjadi penulis akan menjadi pilihan tepat kerena itu pekerjaan yang mudah, tidak akan merepotkan. Tapi, apa yang terjadi kemudian?

Saya baru tahu. Ternyata, menulis itu tidak gampang. Menulis tidak main-main. Susah. Setahun berlalu, novelku cuma jadi beberapa belas halaman. Tapi, saat itu saya mengatakan dalam hati saya (bahkan saya terakan dalam status Facebook) entah dalam waktu dua, tiga, empat, atau bahkan lima tahun pun, saya harus menyelesaikan novel ini. Itu adalah komitmen saya waktu itu.

Singkat cerita, dengan semangat kerja keras dan tekun menulis setiap malam, Sekitar setengah tahun kemudian selesailah ia. Bersyukurlah saya.

Sampai di sini, saya belajar, “Apa pun pekerjaan yang saya tekuni, tidak akan berhasil jika niatku hanya setengah-setengah, dengan landasan tidak mau susah. Tapi dengan kerja keras, apapun bisa diselesaikan.”

Belum selesai sampai disitu ceritanya. Setelah saya menyelesaikan novel itu, lalu saya mencetaknya untuk saya berikan pada teman-teman agar mereka membacanya sebelum saya tawarkan ke penerbit. Apa yang terjadi? Dari dua teman yang saya beri cetakan naskah novel saya, dua-duanya tidak bisa menyelesaikan membaca. Bahkan saudaraku sendiri juga hanya sampai setengah.

Bagaimanapun, tujuan orang menulis adalah agar tulisannya dibaca. Ketika orang menolak membacanya, itu adalah pukulan terbesar bagi penulis. Saya kecewa berat tentunya. Tapi, disitu saya belajar hal selanjutnya.

Selama ini saya orang yang suka bertindak reflektif dengan mencari gampangnya saja. Katakanlah jika ada jalan becek, ya aku cari jalan lain yang tidak becek. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk menyeberangi jalan becek itu walaupun tujuanku sebenarnya ada di seberang jalan becek sana. Termasuk tentang kuliahku di jurusan teknik itu, yang sudah harus berakhir tanpa ijazah karen aku tidak mau melewati jalan becek. Tapi, sekarang tidak boleh lagi. Kini, “Aku sudah menentukan arah tujuanku. Bagaimanpun caranya, aku harus sampai di sana.”

Akhirnya, dengan semangat rendah hati, aku membaca sendiri tulisanku dan harus kuakui, caraku bercerita cenderung berbelit-belit dan membosankan. Tapi, sesuai keyakinanku waktu itu, aku sudah mentukan tujuan, bagaimanapun aku harus sampai di sana. Bagimana pun, aku harus menerbitkan novel pertamaku ini.

Maka, aku edit lagi naskahku. Butuh waktu beberapa bulan untuk itu. Dan hasilnya, lumayan, lah. Sudah jauh lebih menarik dari sebelum diedit.

Lalu, aku kirimkan naskahku ke penerbit.

Selanjutnya, aku belajar untuk “sabar dan tawakal”. Aku sudah melakukan yang terbaik. Selanjutnya, biar Tuhan yang menetukan.

Alhamdulillah. Setelah penantian panjang hampir setahun, terbitlah dia. November 2013 naskah aku kirim ke penerbit, Februari 2013 mendapat konfirmasi email dari penerbit, Maret 2013 membuat MOU, Oktober 2013 novelku terbit. Alhamdulillah.

Ternyata, semuanya memang harus dilakukan dengan kerja keras. Jadi sekarang pun saya harus bekerja keras lagi untuk menulis novel saya yang selanjutnya, yang harus lebih baik dari novel pertama ini.

Sabtu, 08 Juni 2013

Peran baru Andik Vermansyah, pemain bintang yang jadi cadangan


Lagi-lagi Andik tidak menjadi pilihan utama. Pada pertandingan melawan Timnas Belanda (Jum’at, 7 Juni 2013), pemain mungil berkecepatan tinggi ini hanya masuk sebagai pemain penganti pada menit ke-59. Pelatih Jackson F. Thiago lebih memilih memainkan trio penyerang Sergio van Dijk, Boaz Salosa, dan Greg Nwokolo dibandingkan memainkan Andik Vermansyah. Pertandingan itu sendiri akhirnya dimenangkan tim Oranje dengan skor 3-0.

Sebenarnya bisa dibilang Andik tidak kalah kualitas dibandingkan trio penyerang ISL itu. Terbukti, setelah masuk menggantikan Greg Nwokolo, dia mampu membuat peluang dengan skill individunya. Di menit ke-75, setelah melewati salah satu bek Belanda, Andik melakukan solo run cepat dan melepaskan tembakan keras dari dalam kotak penalti. Sayang tembakannya melambung tipis di atas mistar gawang. Aksi itu membuatnya mendapat pujian dari Patrick Kuivert, asisten pelatih Timnas Belanda.

Publik mungkin bertanya, kenapa Andik yang selalu tampil impresif ketika membela Timnas harus hanya menjadi cadangan. Rasanya bukan masalah kalah bersaing dengan Greg. Tapi, jangan pula berpikir Andik jadi cadangan hanya karena dia pemain IPL.

Kalau kita cermati taktik yang sering digunakan Jackson Tiago di tim-tim asuhannya, kita akan mengerti. Pada pertandingan Persija melawan Persipura beberapa hari sebelumnya (Rabu, 5 Juni 2012), misalnya. Persipura yang tampil dengan trio penyerang Boaz, Patrick Wanggai, dan Ian Kabes tertinggal 1-2 dari tim tuan rumah. Sampai akhirnya Jackson memasukkan dua penyerang bertipikal cepat, Lucas Mandowen dan Fari Pehabol. Dua pemain inilah yang akhirnya berperan memporak-porandakan pertahanan Persija hingga akhirnya Persipura berbalik unggul 3-2.

Strategi seperti itu tidak sekali-dua kali digunakan Jackson. Setiap kali timnya tertinggal, dia akan selalu memasukkan salah satu dari Lucas Mandowen atau Feri Pahabol sebagai kartu joker bagi timnya.

Peran inilah yang sepertinya akan diberikan kepada Andik Vermansyah di Timnas. Karakternya yang cepat dan liar bisa dimanfaatkan sebagai pemain kejutan yang dimasukkan dibabak kedua jika Timnas ketinggalan gol. Pada saat bek-bek lawan mulai kelelahan, Andik akan masuk dan mengobrak-abrik pertahanan lawan, dan diharapkan bisa mencuri gol.

Pada pertandingan melawan Belada kemarin mungkin strategi ini gagal. Tapi bisa dimaklumi karena lawannya adalah tim papan atas dunia. Kedepan, sepertinya jackson Thiago akan tetap mempertahankan strateginya ini.

Andik mungkin tidak lagi berperan sebagai pemain utama di Timnas saat ini. Sekarang dia adalah kartu joker yang hanya akan dikeluarkan saat terdesak. Bukan berarti Andik disisihkan, tapi dia memainkan peran baru yang tidak kalah istimewa.

Minggu, 02 Juni 2013

Berkaca dari Pilkades Desa Sambungrejo

Kapan, ya, penyelenggaraan pemilu bisa jujur dan adil? Tampaknya masih jauh. Itu jika aku mengamati dari penyelenggaraan pemilihan umum yang paling kecil. DI lingkup Desa. Di desaku sendiri, Desa Sambungrejo, Sukodono, yang baru perlangsung kemarin (2 Juni, red).

Politikuang rupanya masih tidak dapat dihindari. Bahkan kelihatannya masih mustahil untuk dihapus dalam waktu setidaknya satu generasi mendatang. Pasalnya, uang pesangon masih menjadi barang wajib untuk diberikan kepada pemilih. Jika tidak ada itu, dipastikan calon kepala desa itu hanya akan menjadi hiasan di lembar suara.

“Mboten saget, nriki niku sampun kedik, timbang sing liya-liya,” ucap salah satu ibu-ibu warga desa dalam bahasa Jawa yang artinya, “Tidak bisa (menghapus politik uang), di sini (Desa Sambungrejo) sudah sedikit (uang pesangonnya), dibandingkan di tempat lain.”

Yah, sebenarnya memang bukan salah politikus yang mencalonkan diri, pasalnya memang kebanyakan warga pergi memberikan suaranya adalah demi mendapat uang pesangon tersebut yang jumlahnya 50 ribu rupiah. Tidak besar memang. Menurut ibu tadi di desa lain bahkan bisa lebih besar. Tapi bagi warga, yang namanya barang gratis, jangankan 50 ribu, seribu perak pun pasti senang. Karena gratis.

Yang jongos, tentu kandidat calon kepala desanya. Coba kita hitung. Pilkades kemarin, kandidat yang menang mendapatkan suara 1310. Kalikan 50 ribu. 1310 x 50.000 = 65.500.000

65 juta setengah. Itu hanya untuk pesangon. Belum untuk kebutuhan kampanye yang lain. Spanduk, selebaran, foto-foto, tim sukses, bancaan, dsb. Bisa lebih dari seratus juta. Itu hanya untuk lingkup kepala desa.

Gaji kepala desa itu berapa, sih? Kalau modal untuk mencalonkan diri saja sudah sebegitu besar, apa bisa balik modal?

Kalau sudah begitu, dari situ, kan, berangkatnya korupsi? Kalau begitu, tidak berarti apa-apa, kan 50 ribu yang didapatkan warga dibandingkan apa yang akan direbut darimereka nanti?

Kita sama-sama berharap pemilihan umum akan menjadi lebih baik lagi kedepannya. Generasi ini mungkin sudah terlalu sulit dirubah. Generasi ke depan, harus lebih baik. Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang.

Rabu, 08 Mei 2013

Makam Tjondronegoro, Bupati Pertama Sidoarjo


Taman pemakaman, khususnya di Indonesia, biasanya identik dengan taman asri dengan aneka bunga-bunga indah. Yah, meskipun tidak selalu bisa menghilangkan kesan angkernya. Tapi, apapun hasil akhirnya, orang-orang Indonesia yang hidup selalu memberikan penghormatan pada yang mati dengan sebuah tempat makam yang pantas.

Karena itu, biasanya dia atas kuburan sering kali seorang ahli waris menanamkan tetumbuhan, bunga, dll. Kalau keluarga ningrat biasanya malah memiliki pemakaman sendiri yang asri dengan pohon-pohon rindang dan bunga-bunga.

Pagi ini saya menemukan sebuah pemakaman keluarga ningrat itu ketika bersepeda keliling kota. Tapi, rasanya yang ini kok kurang pantas, ya, disebut pemakaman bangsawan?






Foto di atas adalah foto makam keluarga Tjonkronegoro, yang adanya di belakang Masjid Agung Sidoarjo. R.T.P. Tjokronegoro adalah adipati pertama kabupaten Sidoarjo, semenjak Belanda memisahkan Sidokare (nama Sidoarjo sebelum berbentuk kabupaten sendiri) dari Surabaya.

Tapi, sayangnya makam tokoh bersejarah itu—bisa Anda lihat sendiri—malah bersebelahan dengan TPS/Tempat pembuangan Sementara. Jadi, bisa anda bayangkan sendiri bagaimana bau yang akan menyerang setiap peziarah—meskipun mungkin baunya juga tidak akan sampai di dalam.

Saya jadi berpikir, “Kira-kira dosa apa, ya, Adipadi Tjondronegoro ini pada waktu menjabat dulu kok bisa sekarang mekamnya mendapat perlakuan kaya’ gini? Korupsikah? Semena-menakah? Atau, gara-gara dia dulu naik jabatan diangkat Belanda?”

Gak tau. Sepertinya saya harus belajar lebih dalam dulu tentang sejarah kota kelahiran saya ini.