Judut Buku : Surat yang
Berbicara Tentang Masa Lalu
Penulis : Ade
Ubaidil
Penerbit : BasaBasi
Tahun Terbit : 2017 (cetakan pertama)
Jenis Buku : Kumpulan Cerpen
.
.
Katakanlah... ini adalah ulasan dari saya setelah membaca kumcer salah
seorang teman baik saya yang bernama Ade Ubaidil.
.
Penulis yang satu ini memang sedang naik daun. Namanya sepertinya
sudah tenar di Banten sana sebagai salah seorang seniman/sastrawan angkatan
mutakhir, sedangkan di kancah nasional dia juga lagi nge-hits terutama setelah keikutsertaannya pada ajang Ubud Emerging
Writter Festival yang tersohor itu. Sedangkan hubungan antara dia dengan
saya....
.
Baikah! Saya akui, saya cuma sempat bertemu sekali dengan Ade pada
2014 lalu pada sebuah acara pelatihan menulis di Jogja. Setelah dua hari
pelatihan, sempat juga kami jalan-jalan di Prambanan. Selebihnya, setelah kami
sama-sama pulang ke kota masing-masing, cuma ada hubungan dunia maya di antara
kami.
.
Tapi, bukankah selalu dikatakan “ada gula ada semut”? Jadi, mumpung
Ade Ubaidil sedang menggula di kesusastraan nasional, izinkan pula saya menjadi
semut-semut nakal yang mengaku-ngaku sebagai teman baiknya.
.
Hehe.... Toh saya yakin Ade juga tidak akan menolak saya menyebut
dirinya demikian.
.
Oke, dalam buku kumcer ini ada beberapa cerpen yang sudah saya baca
sebelumnya, karena beberapa memang sudah pernah diterbitkan di media-media
koran ataupun majalah. Misalnya cerpen “Jejalon Ibu” yang pernah terbit di
Republika dan “Sepeda Keranjang dan Pohon Kersen” yang nongol di Femina. Kedua
cerpen tersebut seingat saya sudah pernah saya komentari, sudah saya sampaikan
ke Ade juga, dan rasanya tidak perlu saya ulangi di sini. Selain itu, ada juga
cerpen “Pesawat Kertas dari Bawah Tanah” yang juga sudah saya baca sebelumnya
(untuk yang ini saya membaca versi pra-terbitnya), sudah saya komentari
langsung juga pada Ade, juga tidak akan saya ulangi komentar itu di sini.
.
Ada sembilan belas cerpen Ade di buku ini. Dipotong tiga tadi, berarti
sisanya enam belas. Dari keenambelas itu, yang paling saya sukai adalah yang
judutnya “Kupu-Kupu Kematian”. Mengapa? Lebih karena saya suka aja, sih....
Hehe.
.
Alasan yang kaya’ gitu mungkin bakal bikin saya kena hajar dosen kalo
lagi nulis kritik ilmiah. Tapi berhubung ini hanya ulasan yang semau-mau saya, ayolah.... Boleh, kan?
.
Cerpen “Kupu-Kupu Kematian” itu, ketika saya membacanya, saya
merasakan horornya keren (jadi cerpen itu memang cerpen horor). Ceritanya
tentang psikopat, tapi anak-anak, dan ada gambaran kasih sayang orangtuanya
meski tahu anaknya punya kelainan itu. Meski horor, mistisnya nggak keras.
Nggak ada pocong-pocongan, kuntilanak, gendruwo, atau sejenisnya. Cuma ada
mistisme yang sangat-sangat halus dan lembut, dengan penggambaran munculnya
kupu-kupu setiap ada korban dari tuh anak psikopat, dan itu bagi saya lebih
berefek menguatkan imajinasi saja daripada buat kehororannya. Dan, meski
horornya tentang psikopat, sisi psikopatnya juga nggak hardcore amat, nggak seperti film-film horor sadis Barat. Poko’e good job, lah, meski bukan god job. (Halah....)
.
Cerpen kedua yang saya sukai judulnya “Memata-Matai Kerja Penulis”.
Ini cerpen dia alamatkan pada Ken Hanggara, seorang penulis muda yang kabarnya
berasal dari satu kota yang sama dengan saya (Sidoarjo) tapi malah tidak pernah
saya ketemu dengan dia, sehingga saya juga nggak kenal langsung dengan Ken
kecuali melalui tulisan-tulisannya. Alasan saya suka dengan dengan cerpen ini
barangkali salah satunya karena kekaguman yang sama (seperti yang digambarkan
Ade dalam cerpen ini) pada produktivitas Ken dalam menulis cerpen. Selain itu,
saya menyukai keliaran fantasi Ade dalam cerpen ini, terutama pada bagian yang
menceritakan seorang kakek menebas pelangi lalu menyeretnya ke dalam sebuah
gudang tua seperti menyeret lembaran kain yang sangat panjang. Lagi-lagi,
sepertinya penilaian saya terhadap cerpen kedua ini juga subjektif, ya?
.
Adik saya yang juga membaca kumcer ini (mungkin perlu saya sampaikan
adik saya ini perempuan dengan usia 22 tahun dengan latar belakang frash
graduate Pendidikan Kimia) menyukai cerpen “Kiai Peci Miring”. Sepertinya dia
suka dengan plot realisme magis di cerpen ini, berikut dengan idenya yang
dekonstruktif terhadap pandangan umum masyarakat kita. Saya sendiri tidak
sangat terkesan dengan cerpen ini karena bagi saya klimaksnya terlalu mirip
(atau bahkan ngeplek) dengan dongeng
yang pernah saya dengan dari Ustadz saya dulu ketika masih kecil (dan
sepertinya dongeng seperti itu memang sudah menyebar luas di TPQ/TPA dan
pesantren) tentang seorang kiai yang ketika membuka mulutnya (setelah makan
makanan haram) tampak samudra di belakang anak tekaknya nya. Isi pesan dalam
cerpen ini mirip dengan cerpen lain dalam buku ini yang berjudul “Sepasang
Sandal di Depan Pintu Neraka”. Saya sendiri lebih menyukai cerpen “Sepasang
Sandal di Depan Pintu Neraka” itu daripada “Kiai Peci Miring”.
.
Secara umum, cerpen-cerpen Ade dalam kumcer ini, termasuk juga dua
cerpen yang saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, saya rasa tidak akan
membuat kami yang sudah mengenal Ade jauh-jauh hari merasa kaget. Bukan berarti
cerpennya nggak bagus, lho, ya.... Maksud saya, isi dari cerpen-cerpen itu
memang menunjukkan begitulah Ade. Siapa Ade, bagaimana idealismenya, pandangan
politiknya, pendangan keagamaannya, obsesinya di bidang kepenulisan (sastra),
bahkan juga derita percintaan dan kejombloannya, apa yang saya kenal tentang
Ade, serasa saya baca ulang melalui cerpen-cerpen dalam buku ini. Jadi, dapat
saya katakan bagi yang belum mengenal Ade, kenalilah dia dengan membaca
cerpen-cerpen di sini.
.
(Pssst... lagi-lagi saya ngaku-ngaku sok kenal, padahal.... Haha....)
.
Beberapa cerpen kuat menyinggung salah satu pilihan tema yang saya
sebutkan tadi. Misalnya “Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka” dan “Kiai Peci
Miring” yang menerangkan pandangan keagamaan Ade (terutama menyikapi
radikalisme agama dan kebiasaan sok benar sendiri beberapa golongan kaum
beragama), lalu “Gunung Pinang dan Roti Pengganjal Perut” serta “Nenek Penunggu
Kereta” yang menyuarakan pendapat Ade tentang perpolitikan dan pembangunan
lokal di daerahnya, cerpen “Bahan Bakar Terakhir di Dunia” yang bagi saya
terdengar seperti pembelaan politis Ade terhadap tokoh yang dia pilih di Pemilu
lalu, lalu “Balada penyair” dan “Cerita Tentang Penulis yang Menulis Buku Tip
Menulis” yang menceritakan kegundahan Ade dalam perjalanan pilihannya menjadi
penulis, atau “Jari dan Cincin” cerita mini yang menceritakan kegalauan cowok
yang lagi patah hati itu.
.
Namun, secara lebih sempurna tema-tema yang saya sebutkan tadi saya
temukan di cerpen-cerpen Ade sebagai serpihan-serpihan. Pandangannya tentang
ini muncul sedikit di sini, sedikit muncul di sana, atau kadang diulangi
lagi di tempat lain. Begitulah kebanyakan. Dan yang paling sering muncul
sebagai serpihan....
.
Hmm....
.
Percaya atau nggak percaya, silahkan! Toh dari awal saya sudah bilang
bahwa ulasan ini banyak subjektifnya, karena dibuat dengan semau-mau saya saja,
nggak ilmiah blasss....
.
Menurut saya, salah satu serpihan yang sering sekali muncul di
dalamnya adalah soal kegalauannya cintanya. Percayalah! Saya tidak “semain-main-itu”
ketika mengatakan ini. Cobalah amati ketika kalian membaca buku ini nanti, dari
kesembilan belas cerpen berapa cerpen yang tokoh utamanya jomblo? Jawabannya
adalah hampir semuanya. Lalu, dari cerpen-cerpen tersebut, hitung pula berapa
kali Ade secara eksplisit merutuki/menyesalkan/menggalaukan nasib tokoh sebagai
jomblo? Pokoknya banyak.
.
Yang parah lagi, setidaknya dalam dua cerpen, yakni “Keluarga Rasyid”
dan “Lelaki dan Sesuatu yang Hilang dalam Dirinya”, Ade malah memunculkan sosok
tokoh utama berusia empat puluhan yang sudah lumayan sukses, tapi juga masih
jomblo. Dan dengan eksplisit dia menyebutkan istilah ‘bujang lapok’ di sana.
Alamak.... Ayolah, De...! Saya percaya kamu tidak akan bernasib sesial itu. Kamu
penulis, dan kamu pasti bisa segera punya pacar lalu menikah.
.
Tapi, entahlah! Saya nggak tahu juga. Meski saya yakin
serpihan-serpihan itu memang banyak berserakan di sana, saya nggak tahu apa
memang Ade sengaja memunculkan itu, atau mereka mencul secara tidak sengaja,
atau saya yang ngebacanya saja yang lagi sensitif dengan tema itu sehingga
meskipun keberadaannya sangat lamat di sana tapi jadi kelihatan kasat di mata
saya.
.
Lha masalahnya, saya juga jomblo, sih....
Aku banyak ngakaknya dan banyak hal yang diluar dugaan saya setelah diresensi semau-maunya ini. Makasih, San~ (teman baikku)
BalasHapus