Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Sabtu, 25 November 2017

Baca dan Nikmati Saja Petualangannya

Judul      : Semua Ikan di Langit
Penulis   : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : Grafindo
Terbit     : Cetakan 1, Februari 2017
Tebal      : 262 halaman
ISBN      : 9786023758067


Kelihatannya ringan, namun semakin dibaca, “Semua Ikan di Langit” mengandung isi yang dalam. Novel ini mengajak pembaca berpetualang, namun bisa juga diartikan pengarang sendirilah yang sebenarnya sedang berpetualang. Yang kedua mungkin lebih tepat.
Cover novel ini terkesan epik, dan begitu pula isinya. Ia berkisah perjalanan sebuah Bus Damri yang mendapatkan keajaiban sehingga bisa terbang. Suatu malam ikan julung-julung dari langit menculiknya, lalu membawanya pada Beliau. Beliau sendiri adalah tokoh yang tidak diberi nama, yang digambarkan sebagai anak laki-laki penuh keajaiban. Anak itu tidak pernah bicara, tidak makan dan tidak minum, serta selalu berwajah datar. Anak itu tidak pernah menapakkan kakinya di atas tanah, serta dari rambutnya bisa keluar ikan-ikan julung-julung terbang. Bersama Beliau dan ikan julung-julung, Bus Damri berpetualang menjelajah ruang dan waktu.
Dalam petualangan mereka itu, Bus Damri bertemu banyak orang (manusia, binatang, maupun benda-benda mati yang diorangkan). Dua di antaranya adalah kucing bernama Bastet dan kecoa bernama Nadezhda atau Nad. Bastet adalah yang bertama-tama ditemui mereka, yang diselamatkan oleh Beliau dari kamar paling berantakan sedunia (hal. 10-14). Kemudian Nad si kecoa diselamatkan Beliau dari ruang penyiksaan di luar angkasa yang berbentuk menyerupai ubur ubur (hal. 21-28).
Ada kesan bahwa yang digambarkan melalui dua penyelamatan itu sebenarnya adalah penyelamatan pada diri pengarang sendiri. Pengarang menganggap dirinya sebagai kucing dalam kamar paling berantakan sedunia, atau juga kecoa dalam ruang penyiksaan, sebelum akhirnya diselamatkan dan menjalani petualangan sebagai seorang pengarang novel. Bagian Tentang Penulis di akhir buku menguatkannya, dengan pernyataan pengarang bahwa dia menghabiskan masa remaja di kolong meja sebagai kucing, hidupnya tinggal bersama kecoa, serta dapat ditemui dalam kostum ubur-ubur (hlm. 262).
Petualangan Bus Damri berlanjut dengan mengarungi lebih banyak tempat di bumi maupun luar angkasa, dari masa lalu hingga masa depan. Dia menyaksikan Beliau menyelamatkan beberapa orang lagi, dan menghukum beberapa orang lainnya. Dari situ Bus Damri belajar banyak tentang Beliau. Dia mengamati hal-hal yang membuat Beliau bahagia, juga yang membuat Beliau marah ataupun sedih, termasuk cara Beliau mengekspresikannya. “Kebahagiaan beliau melahirkan bintang. Kesedihan beliau membunuh keajaiban. Kemarahan beliau berakibat fatal” (hal. 62).
Bus Damri juga menyaksikan keajaiban Beliau melalui kemampuan menjahitnya. Beliau menjahit boneka-boneka untuk melindungi anak-anak, menjahit hati yang terluka, menjahit bedong bayi untuk menentukan alur nasib bayi itu kelak, juga membongkar ulang jahitan nasib seseorang untuk mengubah kisah hidupnya (hal. 34, 46, 130, dan 132). Pada satu kesempatan juga diceritakan Beliau menebarkan permen-permen dan gulali di luar angkasa untuk menciptakan galaksi (hal. 65-68).
Ada banyak hal yang mengarahkan pada dugaan bahwa yang digambarkan pengarang melalui tokoh Beliau ini adalah Tuhan. Pada satu bagian cerita juga disebutkan seorang wanita menyebut Beliau dengan nama Gusti, meskipun Beliau juga tidak keberatan untuk tetap dipanggil Beliau (hal. 86).
Di bagian akhir-akhir cerita, diceritakan pula Beliau adalah seseorang yang menciptakan dunia, mengakhirinya, serta yang menciptakannya sekali lagi. Ada adegan kiamat dalam novel ini, yang diawali kemunculan anak laki-laki jahat yang sebelah matanya menutup, yang menyebut dirinya sendiri Tuhan (hal. 213). Di dunia nyata, tokoh yang terakhir ini bisa diasosiasikan dengan Dajjal yang diramalkan akan muncul di penghujung zaman.
Dengan demikian sebenarnya isi novel ini berat. Namun penyajiannya ringan. Pada akhirnya, penilaian bobot novel ini tergantung pembaca, karena sebenarnya yang perlu berpetualang di sini adalah Ziggy sendiri melalui perenungan-perenungannya ketika mengarang novel. Kita, pembaca, cukup membaca dan menikmati saja! Atau, tergoda ikut merenung?

Tentang Surat-Surat Ade Ubaidil

Judut Buku   : Surat yang Berbicara Tentang Masa Lalu
Penulis          : Ade Ubaidil
Penerbit        : BasaBasi
Tahun Terbit : 2017 (cetakan pertama)
Jenis Buku    : Kumpulan Cerpen
.
.
Katakanlah... ini adalah ulasan dari saya setelah membaca kumcer salah seorang teman baik saya yang bernama Ade Ubaidil.
.
Penulis yang satu ini memang sedang naik daun. Namanya sepertinya sudah tenar di Banten sana sebagai salah seorang seniman/sastrawan angkatan mutakhir, sedangkan di kancah nasional dia juga lagi nge-hits terutama setelah keikutsertaannya pada ajang Ubud Emerging Writter Festival yang tersohor itu. Sedangkan hubungan antara dia dengan saya....
.
Baikah! Saya akui, saya cuma sempat bertemu sekali dengan Ade pada 2014 lalu pada sebuah acara pelatihan menulis di Jogja. Setelah dua hari pelatihan, sempat juga kami jalan-jalan di Prambanan. Selebihnya, setelah kami sama-sama pulang ke kota masing-masing, cuma ada hubungan dunia maya di antara kami.
.
Tapi, bukankah selalu dikatakan “ada gula ada semut”? Jadi, mumpung Ade Ubaidil sedang menggula di kesusastraan nasional, izinkan pula saya menjadi semut-semut nakal yang mengaku-ngaku sebagai teman baiknya.
.
Hehe.... Toh saya yakin Ade juga tidak akan menolak saya menyebut dirinya demikian.
.
Oke, dalam buku kumcer ini ada beberapa cerpen yang sudah saya baca sebelumnya, karena beberapa memang sudah pernah diterbitkan di media-media koran ataupun majalah. Misalnya cerpen “Jejalon Ibu” yang pernah terbit di Republika dan “Sepeda Keranjang dan Pohon Kersen” yang nongol di Femina. Kedua cerpen tersebut seingat saya sudah pernah saya komentari, sudah saya sampaikan ke Ade juga, dan rasanya tidak perlu saya ulangi di sini. Selain itu, ada juga cerpen “Pesawat Kertas dari Bawah Tanah” yang juga sudah saya baca sebelumnya (untuk yang ini saya membaca versi pra-terbitnya), sudah saya komentari langsung juga pada Ade, juga tidak akan saya ulangi komentar itu di sini.
.
Ada sembilan belas cerpen Ade di buku ini. Dipotong tiga tadi, berarti sisanya enam belas. Dari keenambelas itu, yang paling saya sukai adalah yang judutnya “Kupu-Kupu Kematian”. Mengapa? Lebih karena saya suka aja, sih.... Hehe.
.
Alasan yang kaya’ gitu mungkin bakal bikin saya kena hajar dosen kalo lagi nulis kritik ilmiah. Tapi berhubung ini hanya ulasan yang semau-mau  saya, ayolah.... Boleh, kan?
.
Cerpen “Kupu-Kupu Kematian” itu, ketika saya membacanya, saya merasakan horornya keren (jadi cerpen itu memang cerpen horor). Ceritanya tentang psikopat, tapi anak-anak, dan ada gambaran kasih sayang orangtuanya meski tahu anaknya punya kelainan itu. Meski horor, mistisnya nggak keras. Nggak ada pocong-pocongan, kuntilanak, gendruwo, atau sejenisnya. Cuma ada mistisme yang sangat-sangat halus dan lembut, dengan penggambaran munculnya kupu-kupu setiap ada korban dari tuh anak psikopat, dan itu bagi saya lebih berefek menguatkan imajinasi saja daripada buat kehororannya. Dan, meski horornya tentang psikopat, sisi psikopatnya juga nggak hardcore amat, nggak seperti film-film horor sadis Barat. Poko’e good job, lah, meski bukan god job. (Halah....)
.
Cerpen kedua yang saya sukai judulnya “Memata-Matai Kerja Penulis”. Ini cerpen dia alamatkan pada Ken Hanggara, seorang penulis muda yang kabarnya berasal dari satu kota yang sama dengan saya (Sidoarjo) tapi malah tidak pernah saya ketemu dengan dia, sehingga saya juga nggak kenal langsung dengan Ken kecuali melalui tulisan-tulisannya. Alasan saya suka dengan dengan cerpen ini barangkali salah satunya karena kekaguman yang sama (seperti yang digambarkan Ade dalam cerpen ini) pada produktivitas Ken dalam menulis cerpen. Selain itu, saya menyukai keliaran fantasi Ade dalam cerpen ini, terutama pada bagian yang menceritakan seorang kakek menebas pelangi lalu menyeretnya ke dalam sebuah gudang tua seperti menyeret lembaran kain yang sangat panjang. Lagi-lagi, sepertinya penilaian saya terhadap cerpen kedua ini juga subjektif, ya?
.
Adik saya yang juga membaca kumcer ini (mungkin perlu saya sampaikan adik saya ini perempuan dengan usia 22 tahun dengan latar belakang frash graduate Pendidikan Kimia) menyukai cerpen “Kiai Peci Miring”. Sepertinya dia suka dengan plot realisme magis di cerpen ini, berikut dengan idenya yang dekonstruktif terhadap pandangan umum masyarakat kita. Saya sendiri tidak sangat terkesan dengan cerpen ini karena bagi saya klimaksnya terlalu mirip (atau bahkan ngeplek) dengan dongeng yang pernah saya dengan dari Ustadz saya dulu ketika masih kecil (dan sepertinya dongeng seperti itu memang sudah menyebar luas di TPQ/TPA dan pesantren) tentang seorang kiai yang ketika membuka mulutnya (setelah makan makanan haram) tampak samudra di belakang anak tekaknya nya. Isi pesan dalam cerpen ini mirip dengan cerpen lain dalam buku ini yang berjudul “Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka”. Saya sendiri lebih menyukai cerpen “Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka” itu daripada “Kiai Peci Miring”.
.
Secara umum, cerpen-cerpen Ade dalam kumcer ini, termasuk juga dua cerpen yang saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, saya rasa tidak akan membuat kami yang sudah mengenal Ade jauh-jauh hari merasa kaget. Bukan berarti cerpennya nggak bagus, lho, ya.... Maksud saya, isi dari cerpen-cerpen itu memang menunjukkan begitulah Ade. Siapa Ade, bagaimana idealismenya, pandangan politiknya, pendangan keagamaannya, obsesinya di bidang kepenulisan (sastra), bahkan juga derita percintaan dan kejombloannya, apa yang saya kenal tentang Ade, serasa saya baca ulang melalui cerpen-cerpen dalam buku ini. Jadi, dapat saya katakan bagi yang belum mengenal Ade, kenalilah dia dengan membaca cerpen-cerpen di sini.
.
(Pssst... lagi-lagi saya ngaku-ngaku sok kenal, padahal.... Haha....)
.
Beberapa cerpen kuat menyinggung salah satu pilihan tema yang saya sebutkan tadi. Misalnya “Sepasang Sandal di Depan Pintu Neraka” dan “Kiai Peci Miring” yang menerangkan pandangan keagamaan Ade (terutama menyikapi radikalisme agama dan kebiasaan sok benar sendiri beberapa golongan kaum beragama), lalu “Gunung Pinang dan Roti Pengganjal Perut” serta “Nenek Penunggu Kereta” yang menyuarakan pendapat Ade tentang perpolitikan dan pembangunan lokal di daerahnya, cerpen “Bahan Bakar Terakhir di Dunia” yang bagi saya terdengar seperti pembelaan politis Ade terhadap tokoh yang dia pilih di Pemilu lalu, lalu “Balada penyair” dan “Cerita Tentang Penulis yang Menulis Buku Tip Menulis” yang menceritakan kegundahan Ade dalam perjalanan pilihannya menjadi penulis, atau “Jari dan Cincin” cerita mini yang menceritakan kegalauan cowok yang lagi patah hati itu.
.
Namun, secara lebih sempurna tema-tema yang saya sebutkan tadi saya temukan di cerpen-cerpen Ade sebagai serpihan-serpihan. Pandangannya tentang ini muncul sedikit di sini, sedikit muncul di sana, atau kadang diulangi lagi di tempat lain. Begitulah kebanyakan. Dan yang paling sering muncul sebagai serpihan....
.
Hmm....
.
Percaya atau nggak percaya, silahkan! Toh dari awal saya sudah bilang bahwa ulasan ini banyak subjektifnya, karena dibuat dengan semau-mau saya saja, nggak ilmiah blasss....
.
Menurut saya, salah satu serpihan yang sering sekali muncul di dalamnya adalah soal kegalauannya cintanya. Percayalah! Saya tidak “semain-main-itu” ketika mengatakan ini. Cobalah amati ketika kalian membaca buku ini nanti, dari kesembilan belas cerpen berapa cerpen yang tokoh utamanya jomblo? Jawabannya adalah hampir semuanya. Lalu, dari cerpen-cerpen tersebut, hitung pula berapa kali Ade secara eksplisit merutuki/menyesalkan/menggalaukan nasib tokoh sebagai jomblo? Pokoknya banyak.
.
Yang parah lagi, setidaknya dalam dua cerpen, yakni “Keluarga Rasyid” dan “Lelaki dan Sesuatu yang Hilang dalam Dirinya”, Ade malah memunculkan sosok tokoh utama berusia empat puluhan yang sudah lumayan sukses, tapi juga masih jomblo. Dan dengan eksplisit dia menyebutkan istilah ‘bujang lapok’ di sana. Alamak.... Ayolah, De...! Saya percaya kamu tidak akan bernasib sesial itu. Kamu penulis, dan kamu pasti bisa segera punya pacar lalu menikah.
.
Tapi, entahlah! Saya nggak tahu juga. Meski saya yakin serpihan-serpihan itu memang banyak berserakan di sana, saya nggak tahu apa memang Ade sengaja memunculkan itu, atau mereka mencul secara tidak sengaja, atau saya yang ngebacanya saja yang lagi sensitif dengan tema itu sehingga meskipun keberadaannya sangat lamat di sana tapi jadi kelihatan kasat di mata saya.
.


Lha masalahnya, saya juga jomblo, sih....

Kamis, 19 Oktober 2017

Ngelantur dari Kurir yang Protes Alamat sampai Tema yang Ngak Jelas

Hari ini ada kurir yang protes waktu ngirim paket ke rumah saya. Sebenernya, kejadian macam ini bukan yang pertama, sih. Sebelumnya juga sering kurir-kurir dari jasa pengiriman yang lain mengalami kesulitan menemukan alamat rumah saya. Tapi mungkin ini yang lebih ngeselin soalnya kurirnya sampai nuduh kalau alamat rumah saya salah. Di paket tertera alamat rumah saya Sambungrejo RT 07 RW 03 nomor 28. Dia bersikeras yang bener alamat rumah saya RT 17. Alasannya, dia punya pelanggan yang rumahnya berada di belakang rumah saya, yang katanya rumahnya itu RT 17.
Oke, sebenarnya kurir itu tidak salah. Rumah saya memang agak complicated. Banyak orang yang mengira rumah saya masuk dusun Semambung, padahal sebenarnya masih masuk dusun Besuk. Biasanya, orang mengira batas antara dusun Semambung dan dusun Besuk itu adalah jalan raya yang ada di depan rumah saya. Padahal bukan, Batas yang sebenarnya adalah parit yang melintang di belakang rumah saya, lalu menyeberang/memotong jalan raya beberapa puluh meter di sebelah barat rumah saya. Singkatnya, hanya tiga rumah plus satu toko yang ada di sebelah selatan jalan yang masuk dusun Besuk (tepatnya RT 07 RW 03). Sedangkan rumah di belakang dan di sampingnya lagi sudah masuk dusun Semambung (RT 17). Karena itu banyak yang menyebut rumah saya itu Besuk Sempilan.
Karena saya sedang tidak ada di rumah, yang menerima paket tadi bukan saya, tapi adik saya. Jadi dia protesnya pada adik saya. Hebatnya--mungkin karena saking kesalnya nyari alamat saya gak ketemu--protes yang tadi itu juga dia kirimkan ke saya lewat SMS. Sempat bingung juga, saya. Ini yang punya rumah siapa, kok dia yang merasa lebih tahu alamat RT/RWnya. Tapi, akhirnya saya memilih menjelaskannya secara baik-baik lewat WA, sekalian saya kirim foto alamat saya di KTP sebagai bukti. Alhamdulillah, clear. Pak kurirnya minta maaf, saya balas dengan ucapan sama-sama plus emoticon minta maaf.
Di sini sebenernya saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan perilaku kurir itu. Mungkin dia hanya lelah karena banyak paket yang harus diantarkan, ditambah kepanasan di jalan. Saya tidak pernah benar-benar tahu seberapa berat sebenarnya beban kerja seorang kurir jasa mengantar barang.
Mari melebar sedikit, saya ingin bicara mengenai maraknya bisnis layanan pengiriman barang saat ini.
Saat ini usaha layanan pengiriman barang memang lagi rame, terutama didukung oleh maraknya aktifitas jual beli online/olshop. Masing-masing saya kira punya kelebihan dan strategi promosi sendiri-sendiri. Cuma, karena saya lebih sering menerima paket daripada mengirim paket, saya lebih senang menilai dari segi kurir pengantarnya, yang mengantarkan paket sampai pintu rumah saya.
Khusus untuk segi itu, saya kira pengantar barang dari PT POS yang terbaik. Mungkin karena saya sudah sering menerima barang/surat dari Pos, sudah tidak pernah lagi ada pengiriman dari Pos yang kesulitan menemukan alamat saya. Tapi, waktu awal-awal dulu sempat juga itu Pak Pos kesulitan. Waktu itu dia menelepos HP saya dengan ramah. Tidak marah-marah. Tidak pula sekedar lewat SMS. Dibandingkan dengan jasa pengiriman yang lain, saya pernah menelepon kantor jasa pengiriman karena paket saya tidak sampai-sampai juga, dan diterima oleh CSnya dengan kurang ramah (bahasanya sih dibikin ramah, tapi dari pembicaraan itu saya bisa menebak bahwa mereka sengaja nunggu saya telepon saya dulu untuk mengirimkan paket saya setelah kurir mereka kesulitan mencari rumah saya #WTF).
Sebenarnya, sangat logis kurir PT POS menunjukkan performa yang lebih baik dari kurir-kurir dari jasa pengiriman yang lain. Kesampingkan dulu soal PT Pos adalah perusahaan yang paling tua sehingga harusnya memang yang paling berpengalaman. Yang ingin saya soroti adalah kurir-kurir dari jasa pengiriman yang lain rasanya memang tidak mendapatkan perlakuan sosial sebaik yang didapat kurir dari PT POS. Dari segi sebutan, misalnya. Kurir dari perusahaan pengiriman yang lain hanya disebut kurir. Sedangkan kurir PT POS memiliki sebutan yang sangat keren, yang merepresentasikan bahwa mereka adalah kebanggaan perusahaan. Mereka disebut dengan "Pak Pos". Adakah kurir JNE yang dipanggil Pak JNE, misalnya? TIKI? Atau yang lain? Rasanya tidak. Selain itu, Pak Pos dibekali dengan seragam keren mereka, berikut dengan sepeda motor, helm, dan boks mereka yang berwarna ngejreng. Dibandingkan dengan kurir jasa pengiriman yang lain, kebanyakan sepeda motor mereka jelek, dan boksnya pun terbungkus kain coklat gelap yang lebih mirip karung goni.
Wajar saja, memang, perusahaan-perusahaan lain itu cenderung kurang perhatian pada kurir mereka. Pasalnya sebagai sebuah perusahaan yang mementingkan profit, mereka pasti akan mengedepankan perbaikan layanan untuk yang bayar. Sementara, pada bisnis ini yang bayar adalah yang mengirimkan barang. Bagi perusahaan, asalkan nantinya pengirim barang mendapatkan laporan bahwa barangnya sudah diantarkan dengan selamat dan tepat waktu, beres. Entah penerimanya menerima barang dengan disertai perilaku kurang sopan dari kurir pengantar barang, itu bukan urusan. Asalkan petugas loket mampu menyambut dengan ramah calon pengirim barang, cukup sudah. Tentu saja ditambah dengan strategi promosi tertentu dan pilihan harga yang lebih ringan.
Bicara soal PT POS, meski PT POS lebih unggul soal Pak Posnya, soal dua layanan yang terakhir saya sebut tadi PT POS emang kacau banget. Harganya (entah bagaimana) sangat tidak bersaing (secara kasar saya pernah membandingkan meskipun tidak pernah benar-benar membandingkan dengan teliti). Soal layanan petugas loketnya lebih parah lagi. Di Kantor Pos cabang, saya pernah ditolak mengirimkan barang karena sudah lewat jam 11. Alasannya, paket-paket dan surat yang dikirim lewat kantor cabang sudah diambil oleh kantor pusat (pusat kabupaten/kota) pada jam 11, sehingga saya diminta langsung saja kirim melalui kantor pusat yang ada di kabupaten. Atau kalau tidak mau, saya diminta kembali lagi besok, sebelum jam 11. Saya pikir, itu tidak masuk akal sekali. Bisnis macam apa yang dijalankan seperti itu, sangat tidak menghargai pelanggan yang sudah menyela-nyelakan waktu untuk sekedar ke kantor Pos. Lagian, bukankah di bawah jam 11 itu masih jam kerja, sehingga siapapun pasti kesulitan untuk ke kantor Pos jam segitu. Mengapa tidak--misalnya--terima saja dulu paket dari saya ini, layani saya, meskipun paket dari saya masih akan disimpan di gudang kantor pos cabang dulu, untuk dikirimkan ke pusan esok hari?
Ayolah... Harusnya PT POS bisa lebih baik. Terus terang saya lebih bangga jika mengirimkan paket lewat Kantor Pos, karena saya juga merasa lebih bangga ketika menerima paket dari Pak Pos daripada kurir-kurir lainnya. Tapi.... Apakah karena PT POS itu BUMN sehingga merasa tidak perlu untuk memperbaiki layanan loket mereka? Atau, apakah karena PT POS itu BUMN sehingga ada yang merasa perlu untuk tidak memperbaiki layanan loket PT POS?
Ayolah... Ini bukan cuma soal saya kesengsem sama Pak Pos. Sebagai sebuah BUMN, saya merasa PT POS itu milik kita bersama. Sementara perusahaan pengiriman yang lain, ah... paling-paling itu punya orang-orang yang non-pribumi aja...
Lalu, mari kita melebarkan lagi pembicaraan tentang pribumi dan non-pribumi
Tapi..., kapan-kapan saja kalau saya tertarik. Sekarang sih masih ogah