Para ahli bahasa umumnya memahami keterampilan berbahasa
terbagi menjadi 4, yakni:
(1) keterampilan menyimak,
(2) keterampilan berbicara,
(3) keterampilan membaca,
(4) keterampilan menulis.
.
Namun, dengan perkembangan tren komunikasi saat ini yang
ditunjang dengan segala teknologinya, keempat keterampilan tersebut dirasa
belum cukup untuk menggambarkan kepandaian berbahasa seseorang. Diperlukan
keterampilan ke-5. Keterampilan ke-5 tersebut, sebenarnya sudah diterapkan oleh
orang-orang bijak sejak masa lalu. Namun, mungkin saat itu keterampilan ke-5
ini dirasa belum cukup penting, sehingga luput dari kebanyakan ahli bahasa.
Keterampilan ke-5 tersebut disebut "keterampilan diam".
.
Bila keterampilan menyimak dan membaca berhubungan dengan
menyerap informasi, dan keterampilan berbicara serta menulis berkenaan dengan
menyampaikan informasi, maka keterampilan diam adalah keterampilan yang
berhubungan dengan menahan informasi. Penahanan informasi tersebut bisa
bertujuan untuk banyak hal, salah satunya untuk tidak menyinggung lawan bicara.
Selain itu, menahan diri untuk tidak turut menyebarkan fitnah atau informasi
hoax bisa pula dimasukkan ke dalam keterampilan jenis ini. Artinya, diam juga
bisa bertujuan untuk menahan laju gerakan informasi yang belum jelas
kebenarannya.
.
Diam sebagai sebuah keterampilan berbahasa berbeda dengan
diamnya orang bodoh. Diam sebagai sebuah keterampilan berbahasa berada di
antara resepsi dan produksi bahasa. Secara struktural, memahami kediaman
sebagai bagian dari bahasa memang tidak lazim dilakukan. Namun, secara
pragmatik itu adalah sesuatu hal yang sangat biasa. Orang bisa menyatakan
sesuatu dengan diamnya, misalnya seorang guru yang mendiamkan murid-muridnya
bermain bola saat istirahat menandakan persetujuannya akan perilaku muridnya
itu. Seseorang bisa juga diam karena memahami sesuatu, misalnya ketika
seseorang dimintai pendapat atas sebuah pemberitaan dan dia memilih diam karena
memahami berita tersebut belum saatnya dikomentari karena sesuatu hal.
.
Dalam islam, arti penting sebuah diam tampaknya sudah lebih
dahulu diperhatikan. Misalnya dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad (Saw)
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berkata yang baik, atau hendaknya
diam. Hadist ini dapat dipahami dalam dua pemahaman; Jika dipahami pilihan
untuk diam lebih karena ketidakmampuan individu untuk bicara baik-baik, maka
diam tersebut dapat dimaknai sebagai keterampilan yang berada di bawah
keterampilan berbicara, atau bahkan bukan keterampilan sama sekali. Namun bila
diartikan pilihan untuk itu lebih dikarenakan kondisi, maka kediaman tersebut
bisa dipahami sebagai kemampuan untuk memilih diam ketika seharusnya dia bisa
bicara; dalam situasi ini kediaman tersebut bisa dipahami sebagai sebuah
keterampilan.
.
Diam dikatakan berada di antara situasi resepsi dan produksi
karena pada konsisi diam tersebut seseorang yang diam sebenarnya diharapkan
untuk bicara, namun memilih untuk diam karena memahami ada kondisi yang mengharuskannya
untuk diam. Karena itu, diam tanpa alasan yang tepat untuk diam bukanlah sebuah
keterampilan, atau dalam istilah yang telah disebutkan sebelumnya adalah “diamnya
orang bodoh”. Diamnya orang bodoh dapat dibedakan dengan diam sebagai sebuah
keterampilan dilihat dari: (1) ada tidaknya pembacaan tentang situasi yang
menyebabkan seseorang harus diam, dan (2) ada tidaknya usaha untuk menggali
informasi lebih lanjut tentang permasalahan yang didiamkan.
.
Barangkali akan masih ada beberapa ciri dan sifat lain dari
diam sebagai sebuah keterampilan. Namun hal itu masih membutuhkan pemikiran
lebih lanjut, atau akan lebih baik bila didukung dengan penelitian objektif yang
lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sejauh ini, segala uraian yang telah tersebut
dalam tulisan ini masih sebuah pendapat pribadi, yang mungkin benar namun
mungkin juga salah. Bila ada kebenaran dalam tulisan ini, sesungguhnya kebenaran
itu datangnya dari Allah. Dan bila ada kesalahan, sesungguhnya itu hanyalah
sebuah bukti bahwa tidak ada yang sempurna selain Allah.