SELALU ADA PILIHAN
Penulis : Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit : Kompas, 2014
Sistem pemerintahan Indonesia sekarang sudah sama sekali
berbeda dengan Indonesia dulu. Dulu otoriterian, sekarang demokrasi. Dulu
wewenang presiden tidak terbatas. Bisa seenaknya menetapkan konstitusi. Punya wewenang
membubarkan parlemen/DPR. Punya hak mengumumkan perang dengan negara lain.
Sekrang tidak lagi. Undang-undang ditetapkan oleh legislatif, presiden hanya
mengusulkan. Tidak berwewenang membubarkan parlemen, bahkan parlemen yang punya
hak memberhentikan presiden. Mengumumkan perang harus dengan persetujuan
parlemen. Hal-hal yang menunjukkan bahwa sejatinya sistem pemerintahan kita
bergerak menuju semi parlementer. Bukan mutlak presidensial lagi.
Hal diatas adalah sedikit dari banyak hal yang dibahas oleh
SBY dalam bukunya, “Selalu Ada Pilihan”.
Secara umum buku ini terbagi dalam 4 bab: “1. Inilah Negara
Kita Saat Ini”; “2. Asal Tahu, Beginilah jadi Presiden”; “3. Ingin Jadi
Presiden, Menangkan Pemilu Mendatang”; dan “4. Semoga enjadi Presiden yang
Sukses”; ditambah dengan pendahuluan “Sudah Siapkah Kita?” dan penutupan “Melangkah
ke Depan: Peluang dan Pilihan Selalu Ada.” Sesuai dengan judul keempat babnya,
SBY melalui buku ini mengajak Pecinta
Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang untuk melihat realitas di Indonesia
pada masa kini, lalu berkisah tentang suka duka beliau selama menjadi presiden,
dilanjutkan dengan nasihat-nasihat untuk para penerus bangsa yang ingin menjadi
pemimpin masa depan Indonesia.
Sempat saya berharap—meskipun sebenarnya sadar bahwa itu tidak
mungkin—dalam buku ini SBY akan membocorkan sedikit hal-hal yang sifatnya
dirahasiakan oleh pemerintah selama ini. Dan seperti yang saya duga, tidak ada.
Kecuali beberapa hal yang sifatnya rahasia pribadi atau beberapa hal yang bukan
rahasia tapi salama ini saya belum tahu. Misalnya sebelum menuju pilpres 2009,
SBY terlebih dahulu menanyakan kesediaan anggota keluarga beliau—istri(Ani
Yudhayono), anak-anak (Agus Harimurti dan Edhie Baskoro), serta menantu (Anisa
Pohan)—untuk mengijinkan beliau mencalonkan lagi sebagai presiden. Pasalnya
selama 5 tahun majasa batan pertama beliau, keluarga mau tidak mau juga menerima
pedasnya kritik miring, bahakn fitnah keji dari pers dan lawan politik. Sebut
saja Ibu Ani dibilang nasrani, Agus Harimurti dibilang sempat meninggalkan
tugas ketika menjadi bagian pasukan perdamaian di Lebanin, hingga Ibas (Edhie
Baskoro) dikatakan suka memakai pakaian lengan panjang karena tangannya penuh
bekas jarum suntuk dan silet (artinya pemakai narkoba). Selain itu, ada pula
cerita ketika DK PBB membahas resolusi mengenai isu nuklir Iran (2007)—saat itu
Indonesia menjabat sebagai anggota DK PBB—Prsiden RI sempat menolak menerima
telepon dari Presiden Iran, Presiden Ahmadinejad, dan Presiden Amerika Serikat,
Presiden Bush.
“Pak Presiden, barangkali Bapak adalah Presiden pertama di
dunia ini yang tidak mau menerima teleponnya Presiden Amerika Serikat.” {SBY
mengutip kelakar Dr. Dino Patti Djalal (Staf Khusus Presiden Hubungan
Internasional) dalam Selalu Ada Pilihan:
165)
Ditanya idealisme yang disampaikan SBY dalam buku ini, jelas.
Sama dengan sikap dan ucapan beliau selama ini. SBY mendukung demokrasi di
Indonesia beserta seluruh proses yang harus dijalani. Sekalipun, justru
sebenarnya selama 9 tahun ini beliau adalah korban dari demokrasi kebablasan di
Indonesia. Kritik, kecaman, hujatan, cacian dari pers, lawan politik, maupun
para demonstran. Beliau hanya berharap Indonesia akan mencapai demokrasi yang lebih
matang pada masa mendatang. Beliau mengharapkan peran pers yang debih seimbang
dalam menyambaikan berita, juga sikap dewasa dari para elit politik di
Indonesia.
Mengenai politik luar negeri, tetap dengan politik bebas
aktif. Yang selama pemerintahan beliau diwijudkan dalam kebijakan thousand friends zero enemy.
Ada yang menarik mengenai rahasia bagaimana beliau bisa
tahan menghadapi cacian, hujatan, dan makian selama ini. Salah satunya adalah
karena beliau percaya bahwa ucapan-ucapan miring itu tidak mewakili kebanyakan
isi hari rakyat Indonesia. Semuanya kelihatan besar hanya karena diblow up oleh media-media besar. Buktinya
nyata. Pada 2004, sekalipun saat itu SBY dihajar oleh media-media besar dengan
hujatan dan cacian, nyatanya tetap terpilih kembali dengan jumlah suara dan
presentase kemenangan lebih besar. Selain itu, beliau melihat pula hasil survey
dari 3 lembaga (tidak disebutkan namanya), SMS dan surat yang masuk ke
Presiden, serta spontanitas rakyat ketika beliau berkunjung ke daerah. Tiga hal
di atas menunjukkan positif, SBY dicintai rakyatnya.
Satu lagi review yang ingin saya bagikan. Awalnya SBY tidak
berpikir untuk menjadi presiden. Beliau hanya menginginkan beberapa jabatan
lain yang tidak setinggi itu. Itupun ternyata gagal dia raih. Pada saat menjadi
bagian Angkatan Darat TNI, beliau sangat ingin mencapai jabatan KepalaStaf
Angkatan Darat (KSAD). Tidak kesampaian. Meski namanya sudah diusulkan oleh Panglima
TNI saat itu ( Jendral Wiranto), Presiden Gus Dur menolaknya. Alasannya Gus Dur
meminta SBY menjadi menteri. SBY terpaksa mengalah meski sebenarnya beliau jauh
lebih menginginkan jabatan KSAD dibanding menjadi menteri. Bahkan pada dua masa
pemerintahan sebelumnya, SBY sebenarnya juga sempat diajak menjadi menteri tapi
dia tolak demi mengejar impian menjadi KSAD. Pada masa selanjutnya, SBY juga
sempat ingin menjadi wakil presiden. Yakni pada pemilihan wakil Presiden
Megawati, yang pada akhirnya SBY kalah dari Hamzah Haz. Dua kali SBY gagal
mencapai cita-citanya. Tapi dia ikhlas menerima. Akhirnya, tidka jadi wapres
dia malah jadi presiden. Tidak jadi KSAD malah jadi panglima tertinggi TNI. SBY
berharap pemimpin masa depan Indonesia belajar darinya. Mau jadi presiden, harus
siap ikut pemilu. Ikut pemilu, harus siap kalah dan siap menang. Toh, asalkan
mau menerima dengan legowo dan belajar dari kesalahan, kekalahan adalah
kemenangan yang tertunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar