Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Selasa, 18 Februari 2014

Review: SELALU ADA PILIHAN


SELALU ADA PILIHAN
Penulis    : Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit : Kompas, 2014

Sistem pemerintahan Indonesia sekarang sudah sama sekali berbeda dengan Indonesia dulu. Dulu otoriterian, sekarang demokrasi. Dulu wewenang presiden tidak terbatas. Bisa seenaknya menetapkan konstitusi. Punya wewenang membubarkan parlemen/DPR. Punya hak mengumumkan perang dengan negara lain. Sekrang tidak lagi. Undang-undang ditetapkan oleh legislatif, presiden hanya mengusulkan. Tidak berwewenang membubarkan parlemen, bahkan parlemen yang punya hak memberhentikan presiden. Mengumumkan perang harus dengan persetujuan parlemen. Hal-hal yang menunjukkan bahwa sejatinya sistem pemerintahan kita bergerak menuju semi parlementer. Bukan mutlak presidensial lagi.

Hal diatas adalah sedikit dari banyak hal yang dibahas oleh SBY dalam bukunya, “Selalu Ada Pilihan”.

Secara umum buku ini terbagi dalam 4 bab: “1. Inilah Negara Kita Saat Ini”; “2. Asal Tahu, Beginilah jadi Presiden”; “3. Ingin Jadi Presiden, Menangkan Pemilu Mendatang”; dan “4. Semoga enjadi Presiden yang Sukses”; ditambah dengan pendahuluan “Sudah Siapkah Kita?” dan penutupan “Melangkah ke Depan: Peluang dan Pilihan Selalu Ada.” Sesuai dengan judul keempat babnya, SBY melalui buku ini mengajak Pecinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang untuk melihat realitas di Indonesia pada masa kini, lalu berkisah tentang suka duka beliau selama menjadi presiden, dilanjutkan dengan nasihat-nasihat untuk para penerus bangsa yang ingin menjadi pemimpin masa depan Indonesia.

Sempat saya berharap—meskipun sebenarnya sadar bahwa itu tidak mungkin—dalam buku ini SBY akan membocorkan sedikit hal-hal yang sifatnya dirahasiakan oleh pemerintah selama ini. Dan seperti yang saya duga, tidak ada. Kecuali beberapa hal yang sifatnya rahasia pribadi atau beberapa hal yang bukan rahasia tapi salama ini saya belum tahu. Misalnya sebelum menuju pilpres 2009, SBY terlebih dahulu menanyakan kesediaan anggota keluarga beliau—istri(Ani Yudhayono), anak-anak (Agus Harimurti dan Edhie Baskoro), serta menantu (Anisa Pohan)—untuk mengijinkan beliau mencalonkan lagi sebagai presiden. Pasalnya selama 5 tahun majasa batan pertama beliau, keluarga mau tidak mau juga menerima pedasnya kritik miring, bahakn fitnah keji dari pers dan lawan politik. Sebut saja Ibu Ani dibilang nasrani, Agus Harimurti dibilang sempat meninggalkan tugas ketika menjadi bagian pasukan perdamaian di Lebanin, hingga Ibas (Edhie Baskoro) dikatakan suka memakai pakaian lengan panjang karena tangannya penuh bekas jarum suntuk dan silet (artinya pemakai narkoba). Selain itu, ada pula cerita ketika DK PBB membahas resolusi mengenai isu nuklir Iran (2007)—saat itu Indonesia menjabat sebagai anggota DK PBB—Prsiden RI sempat menolak menerima telepon dari Presiden Iran, Presiden Ahmadinejad, dan Presiden Amerika Serikat, Presiden Bush.

“Pak Presiden, barangkali Bapak adalah Presiden pertama di dunia ini yang tidak mau menerima teleponnya Presiden Amerika Serikat.” {SBY mengutip kelakar Dr. Dino Patti Djalal (Staf Khusus Presiden Hubungan Internasional) dalam Selalu Ada Pilihan: 165)

Ditanya idealisme yang disampaikan SBY dalam buku ini, jelas. Sama dengan sikap dan ucapan beliau selama ini. SBY mendukung demokrasi di Indonesia beserta seluruh proses yang harus dijalani. Sekalipun, justru sebenarnya selama 9 tahun ini beliau adalah korban dari demokrasi kebablasan di Indonesia. Kritik, kecaman, hujatan, cacian dari pers, lawan politik, maupun para demonstran. Beliau hanya berharap Indonesia akan mencapai demokrasi yang lebih matang pada masa mendatang. Beliau mengharapkan peran pers yang debih seimbang dalam menyambaikan berita, juga sikap dewasa dari para elit politik di Indonesia.

Mengenai politik luar negeri, tetap dengan politik bebas aktif. Yang selama pemerintahan beliau diwijudkan dalam kebijakan thousand friends zero enemy.

Ada yang menarik mengenai rahasia bagaimana beliau bisa tahan menghadapi cacian, hujatan, dan makian selama ini. Salah satunya adalah karena beliau percaya bahwa ucapan-ucapan miring itu tidak mewakili kebanyakan isi hari rakyat Indonesia. Semuanya kelihatan besar hanya karena diblow up oleh media-media besar. Buktinya nyata. Pada 2004, sekalipun saat itu SBY dihajar oleh media-media besar dengan hujatan dan cacian, nyatanya tetap terpilih kembali dengan jumlah suara dan presentase kemenangan lebih besar. Selain itu, beliau melihat pula hasil survey dari 3 lembaga (tidak disebutkan namanya), SMS dan surat yang masuk ke Presiden, serta spontanitas rakyat ketika beliau berkunjung ke daerah. Tiga hal di atas menunjukkan positif, SBY dicintai rakyatnya.

Satu lagi review yang ingin saya bagikan. Awalnya SBY tidak berpikir untuk menjadi presiden. Beliau hanya menginginkan beberapa jabatan lain yang tidak setinggi itu. Itupun ternyata gagal dia raih. Pada saat menjadi bagian Angkatan Darat TNI, beliau sangat ingin mencapai jabatan KepalaStaf Angkatan Darat (KSAD). Tidak kesampaian. Meski namanya sudah diusulkan oleh Panglima TNI saat itu ( Jendral Wiranto), Presiden Gus Dur menolaknya. Alasannya Gus Dur meminta SBY menjadi menteri. SBY terpaksa mengalah meski sebenarnya beliau jauh lebih menginginkan jabatan KSAD dibanding menjadi menteri. Bahkan pada dua masa pemerintahan sebelumnya, SBY sebenarnya juga sempat diajak menjadi menteri tapi dia tolak demi mengejar impian menjadi KSAD. Pada masa selanjutnya, SBY juga sempat ingin menjadi wakil presiden. Yakni pada pemilihan wakil Presiden Megawati, yang pada akhirnya SBY kalah dari Hamzah Haz. Dua kali SBY gagal mencapai cita-citanya. Tapi dia ikhlas menerima. Akhirnya, tidka jadi wapres dia malah jadi presiden. Tidak jadi KSAD malah jadi panglima tertinggi TNI. SBY berharap pemimpin masa depan Indonesia belajar darinya. Mau jadi presiden, harus siap ikut pemilu. Ikut pemilu, harus siap kalah dan siap menang. Toh, asalkan mau menerima dengan legowo dan belajar dari kesalahan, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar