Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Rabu, 21 Oktober 2015

Kisah Pejuang yang Terbuang(Resensi Buku "Dari Rimba Aceh ke Stockholm")



Judul Buku      : Dari Rimba Aceh ke Stockholm
Penulis             : dr. Husaini M. Hasan
Penerbit           : Batavia Publishing
Tebal               : 509 + xxiv
ISBN               : 978-602-71-4200-8



Buku ini menyajikan sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam narasi menarik, lengkap dengan diskripsi latar yang apik. Terutama ketika menggambarkan suasana rimba Aceh. Membaca buku ini akan menyadarkan kita betapa luar biasanya hutan hujan tropis.
Dr. Husaini adalah seorang pejuang GAM yang mendampingi Tengku Hasan di Tiro, Wali Negara Aceh, selama bergerilya di hutan Aceh hingga mendirikan markas GAM di Stockholm, Swedia. Selama itu dia mengemban tiga jabatan, yakni Sekretaris Negara, Menteri Pendidikan, dan Menteri Penerangan GAM.
Sejak meninggalkan anak istri serta karirnya pada 1977, dia mulai berjuang bersama GAM dengan bergerilya di rimba Aceh. Tidak mudah. Medan gerilya meliputi hutan lebat, rawa lumpur, dan perbukitan curam. Terbatasnya ketersediaan makanan dan kejaran tentara Indonesia juga selalu mengancam keselamatan. Binatang penggigit seperti lintah, kalajengking, dan lipan kerap menyerang. Ada pula binatang-binatang besar, tapi lumrahnya mereka tidak menyerang bila tidak merasa terancam.
Penulis menceritakan Tengku Hasan di Tiro berkali-kali menekankan GAM adalah gerakan politis. Tekanan tentara Indonesialah yang memaksa GAM mengangkat senjata. Adapun yang dilakukan dalam gerilya itu adalah menyusun pemerintahan GAM dan menyebarkan semangat Aceh Merdeka.
Pada 1988, dr. Husaini mendapat mandat ke luar negeri dengan untuk mencari Wali Negara yang sudah terlebih dulu berangkat. Malaysia menjadi pelabuhan pertamanya. Dia berangkat menaiki perahu kecil yang ditekongi seorang bernama Shaiman. Tak disangka, petualangan di Malaysia membawanya berkenalan dengan UNHCR yang kemudian membantunya  mendapat suaka di Swedia. Itulah awal dari boyongan GAM hingga bisa bermarkas di Stockholm, Swedia.
Dr. Husaini adalah orang paling berjasa dalam pendirian markas GAM di Stockholm. Tapi justru setelah itu dia mendapatkan fitnah yang merenggangkan hubungannya dengan Wali Negara, hingga tersingkir dari GAM. GAM pun pecah berkubu-kubu, yakni GAM MZ (Malik-Zaini) dan MB GAM yang diketuai dr. Husaini. Di Malaysia, muncul Majelis Pemerintahan GAM (MP GAM) sebagai wujud penolakan pengangkatan Malik sebagai perdana menteri GAM. Adapun Tengku Hasan di Tiro saat itu sakit-sakitan sehingga mudah diperalat GAM MZ.
Mengenai diperalatnya Wali Negara, penulis menceritakannya melalui kutipan percakapan Teuku Sarong dan Wali Negara.
Saat itu Teuku Sarong mengingatkan Wali Negara:
“Pak Cik, kita sudah dibohongi oleh orang-orang yang sudah menjual Aceh. Kita sudah dipisahkan dari teman-teman yang setia kepada perjuangan kita.” (hal. 360)
Jawaban Tengku Hasan di Tiro adalah:
“ ‘Lalu bagaimana, apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya sendiri sudah berada dalam perangkap mereka,’ ucap Wali Negara.” (hal. 360)
Akibat difitnah, sampai wafatnya Tengku Hasan di Tiro, dr. Husaini tidak bisa menemui Tengku Hasan di Tiro kecuali pertemuan tak disengaja di sebuah swalayan. Kubu Malik-Zaini seolah sengaja menjauhkan Wali Negara darinya. Menjelang perjanjian Helsinky, 2005, Wali Negara berkali-kali minta dipanggilkan dr. Husaini, tapi tidak pernah dilakukan.
“‘Di mana dokter Husaini, mengapa belum datang?’ tanya Tengku Hasan M. di Tiro lagi pada pertemuan selanjutnya.
‘Kami sudah memberitahu dia supaya datang menjumpai Tengku, tetapi lewat telepon, ia mengatakan tidak mau datang dan tidak peduli lagi tentang Aceh Merdeka!’ ucap mereka menipu Wali Negara.” (hal. 402)
Ini membuktikan betapa politik kotor tidak hanya ada pada sebuah negara yang merdeka, tapi juga meracuni sebuah organanisasi yang sedang mencari kemerdekaan.
Dengan ditandatanganinya perjanjian Hensinky, pergerakan Aceh Merdeka berakhir. Hasilnya mungkin tidak sesuai keinginan dr. Husaini yang menginginkan Aceh merdeka, lepas dari Indonesia. Tapi, bukan berarti dia harus tidak mematuhi perjanjian tersebut. Sebab, seperti yang dinasihatkan Hj. Azimar, janda pejuang GAM yang dimuat pada bagian akhir buku ini: “Tuhan tidak memberikan yang kamu inginkan, tapi memberikan yang kamu butuhkan” (hal. 473).
Mungkin, Tuhan memang memutuskan bahwa Aceh sebagai bagian dari NKRI adalah yang terbaik.