Sumber Gambar: manfaat.co.id |
Bayangkan!!!
Ada seorang petapa tua. Tiap hari, petapa itu makan dari
sedekah yang diberikan oleh orang-orang. Seringkali adalah buah.
Pada hari pertama, petapa tua mendapat buah durian sebagai
makanannya. Dia begitu senang, lalu makan dengan lahapnya. Sebagai petapa saleh,
tak lupa juga dia mengucapkan puja dan puji pada Tuhan.
“Sungguh Tuhan maha welas asih, aku makan dengan menyebut
nama-Mu,” pujanya sebelum makan.
Lalu setelah makan, dia pun melontarkan pujinya, “Terpujilah
Tuhanku, satu-satunya yang menguasai langit dan bumi, yang menciptakan ruang
dan waktu, yang memberikan nyawa, serta yang mematikan kemudian.”
Begitulah cara dia bersyukur atas karunia Tuhan padanya.
Pada hari kedua, dia mendapati buah sawo sebagai
makanannya. Dia pun sangat senang pada hari kedua ini. Dia makan dengan lahap
tanpa lupa melontarkan puja dan puji.
“Sungguh Tuhan maha welas asih, aku makan dengan menyebut
nama-Mu,” pujanya sebelum makan.
Dan setelah makan, dia pun memanjatkan pujinya, “Terpujilah
Tuhanku, penguasa alam dunia dan alam akhirat, yang menjadikan segala yang
nampak dan yang ghaib, pencipta hukum logika, pengukuh keadilan, dan sumber
dari semua napas kasih sayang.”
Begitulah hari kedua, dia bersyukur pada Tuhan atas karunia
yang tersantunkan padanya.
Tak ada bedanya pada hari ketiga, keempat, dan kelima. Dia
mendapati buah yang lezat-lezat dan memakannya dengan lahap. Nanas, pisang, dan
rambutan. Tak lupa pula petapa selalu menghaturkan puja dan puji pada Tuhannya.
Pada hari keenam, setelah melakukan semadi yang menjadi
rutinitasnya, dia pun menengok sedekah yang dia dapat hari ini—seperti
biasanya. Hari ini, dia mendapati buah pepaya terhidang di tempat makannya.
Tapi sayangnya, petapa tua itu tidak terlalu suka buah pepaya. Dia pun
meninggalkan buah pepaya itu di tempat tanpa menyentuhnya sama sekali. Lalu dia
pulang ke rumah. Pun dengan wajah cemberut.
Hari itu, dia menahan lapar karena tidak menyukai buah
pepaya. Dia tidak makan. Dan karena dia tidak makan, dengan sendirinya dia juga
tidak melantunkan puja dan puji kepada Tuhan sebagaimana setiap hari dia
lakukan. Siapa pula yang akan melantunkan doa puja sebelum tak makan, dan menyanyikan
lagu puji setelah tak makan? Semua puja puji dicipkatan untuk mengiringi suatu
laku. Tidak ada lirik puja sebelum tak melakukan apa-apa, dan larik puji
sesudah tak melakukan apa-apa.
Tapi, cobalah tanya si petapa! Sadarkah dia? Pasti dia tak
ingat. Mungkin yang dia tahu hanya dia tidak makan. Dia lupa dengan
meninggalkan makanannya, dia juga telah meninggalkan lantunan puja dan pujinya.
Padahal, Tuhan di tempatnya sana masih sebagai Zat Yang Paling Pantas Dipuja dan
Dipuji. Karena Dia maha welas asih. Dia sang pencipta dan penguasa segala. Dia
yang menghidupkan, dan Dia pula yang mematikan.
Tapi apa yang disabdakan Tuhan? Tuhan bergeming. Dia hanya
mengucapkan: “Sungguh kalaupun semua manusia berhenti memanjatkan puja dan puji
kepada-Ku, tak kan ada dampaknya bagi kebesaran-Ku. Dan kalaupun mereka semua
serentak membacakan syair kebesaran-Ku, tak akan bertambah pula keagungan-Ku. Aku
berkuasa atau kuasa-Ku sendiri.”