Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com

Jumat, 05 Juni 2015

Kisah Petapa dan Buah-Buahan

Sumber Gambar: manfaat.co.id


Bayangkan!!!
Ada seorang petapa tua. Tiap hari, petapa itu makan dari sedekah yang diberikan oleh orang-orang. Seringkali adalah buah.
Pada hari pertama, petapa tua mendapat buah durian sebagai makanannya. Dia begitu senang, lalu makan dengan lahapnya. Sebagai petapa saleh, tak lupa juga dia mengucapkan puja dan puji pada Tuhan.
“Sungguh Tuhan maha welas asih, aku makan dengan menyebut nama-Mu,” pujanya sebelum makan.
Lalu setelah makan, dia pun melontarkan pujinya, “Terpujilah Tuhanku, satu-satunya yang menguasai langit dan bumi, yang menciptakan ruang dan waktu, yang memberikan nyawa, serta yang mematikan kemudian.”
Begitulah cara dia bersyukur atas karunia Tuhan padanya.
Pada hari kedua, dia mendapati buah sawo sebagai makanannya. Dia pun sangat senang pada hari kedua ini. Dia makan dengan lahap tanpa lupa melontarkan puja dan puji.
“Sungguh Tuhan maha welas asih, aku makan dengan menyebut nama-Mu,” pujanya sebelum makan.
Dan setelah makan, dia pun memanjatkan pujinya, “Terpujilah Tuhanku, penguasa alam dunia dan alam akhirat, yang menjadikan segala yang nampak dan yang ghaib, pencipta hukum logika, pengukuh keadilan, dan sumber dari semua napas kasih sayang.”
Begitulah hari kedua, dia bersyukur pada Tuhan atas karunia yang tersantunkan padanya.
Tak ada bedanya pada hari ketiga, keempat, dan kelima. Dia mendapati buah yang lezat-lezat dan memakannya dengan lahap. Nanas, pisang, dan rambutan. Tak lupa pula petapa selalu menghaturkan puja dan puji pada Tuhannya.
Pada hari keenam, setelah melakukan semadi yang menjadi rutinitasnya, dia pun menengok sedekah yang dia dapat hari ini—seperti biasanya. Hari ini, dia mendapati buah pepaya terhidang di tempat makannya. Tapi sayangnya, petapa tua itu tidak terlalu suka buah pepaya. Dia pun meninggalkan buah pepaya itu di tempat tanpa menyentuhnya sama sekali. Lalu dia pulang ke rumah. Pun dengan wajah cemberut.
Hari itu, dia menahan lapar karena tidak menyukai buah pepaya. Dia tidak makan. Dan karena dia tidak makan, dengan sendirinya dia juga tidak melantunkan puja dan puji kepada Tuhan sebagaimana setiap hari dia lakukan. Siapa pula yang akan melantunkan doa puja sebelum tak makan, dan menyanyikan lagu puji setelah tak makan? Semua puja puji dicipkatan untuk mengiringi suatu laku. Tidak ada lirik puja sebelum tak melakukan apa-apa, dan larik puji sesudah tak melakukan apa-apa.
Tapi, cobalah tanya si petapa! Sadarkah dia? Pasti dia tak ingat. Mungkin yang dia tahu hanya dia tidak makan. Dia lupa dengan meninggalkan makanannya, dia juga telah meninggalkan lantunan puja dan pujinya. Padahal, Tuhan di tempatnya sana masih sebagai Zat Yang Paling Pantas Dipuja dan Dipuji. Karena Dia maha welas asih. Dia sang pencipta dan penguasa segala. Dia yang menghidupkan, dan Dia pula yang mematikan.
Tapi apa yang disabdakan Tuhan? Tuhan bergeming. Dia hanya mengucapkan: “Sungguh kalaupun semua manusia berhenti memanjatkan puja dan puji kepada-Ku, tak kan ada dampaknya bagi kebesaran-Ku. Dan kalaupun mereka semua serentak membacakan syair kebesaran-Ku, tak akan bertambah pula keagungan-Ku. Aku berkuasa atau kuasa-Ku sendiri.”