Judul Buku : Dari Rimba Aceh ke Stockholm
Penulis : dr. Husaini M. Hasan
Penerbit : Batavia Publishing
Tebal : 509 + xxiv
ISBN : 978-602-71-4200-8
Buku
ini menyajikan sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam narasi menarik, lengkap
dengan diskripsi latar yang apik. Terutama ketika menggambarkan suasana rimba
Aceh. Membaca buku ini akan menyadarkan kita betapa luar biasanya hutan hujan
tropis.
Dr.
Husaini adalah seorang pejuang GAM yang mendampingi Tengku Hasan di Tiro, Wali
Negara Aceh, selama bergerilya di hutan Aceh hingga mendirikan markas GAM di
Stockholm, Swedia. Selama itu dia mengemban tiga jabatan, yakni Sekretaris
Negara, Menteri Pendidikan, dan Menteri Penerangan GAM.
Sejak
meninggalkan anak istri serta karirnya pada 1977, dia mulai berjuang bersama
GAM dengan bergerilya di rimba Aceh. Tidak mudah. Medan gerilya meliputi hutan
lebat, rawa lumpur, dan perbukitan curam. Terbatasnya ketersediaan makanan dan
kejaran tentara Indonesia juga selalu mengancam keselamatan. Binatang penggigit
seperti lintah, kalajengking, dan lipan kerap menyerang. Ada pula
binatang-binatang besar, tapi lumrahnya mereka tidak menyerang bila tidak
merasa terancam.
Penulis
menceritakan Tengku Hasan di Tiro berkali-kali menekankan GAM adalah gerakan
politis. Tekanan tentara Indonesialah yang memaksa GAM mengangkat senjata.
Adapun yang dilakukan dalam gerilya itu adalah menyusun pemerintahan GAM dan
menyebarkan semangat Aceh Merdeka.
Pada
1988, dr. Husaini mendapat mandat ke luar negeri dengan untuk mencari Wali
Negara yang sudah terlebih dulu berangkat. Malaysia menjadi pelabuhan
pertamanya. Dia berangkat menaiki perahu kecil yang ditekongi seorang bernama
Shaiman. Tak disangka, petualangan di Malaysia membawanya berkenalan dengan
UNHCR yang kemudian membantunya mendapat
suaka di Swedia. Itulah awal dari boyongan GAM hingga bisa bermarkas di
Stockholm, Swedia.
Dr.
Husaini adalah orang paling berjasa dalam pendirian markas GAM di Stockholm.
Tapi justru setelah itu dia mendapatkan fitnah yang merenggangkan hubungannya
dengan Wali Negara, hingga tersingkir dari GAM. GAM pun pecah berkubu-kubu,
yakni GAM MZ (Malik-Zaini) dan MB GAM yang diketuai dr. Husaini. Di Malaysia,
muncul Majelis Pemerintahan GAM (MP GAM) sebagai wujud penolakan pengangkatan
Malik sebagai perdana menteri GAM. Adapun Tengku Hasan di Tiro saat itu
sakit-sakitan sehingga mudah diperalat GAM MZ.
Mengenai
diperalatnya Wali Negara, penulis menceritakannya melalui kutipan percakapan Teuku
Sarong dan Wali Negara.
Saat
itu Teuku Sarong mengingatkan Wali Negara:
“Pak Cik, kita sudah dibohongi oleh
orang-orang yang sudah menjual Aceh. Kita sudah dipisahkan dari teman-teman
yang setia kepada perjuangan kita.” (hal. 360)
Jawaban
Tengku Hasan di Tiro adalah:
“ ‘Lalu bagaimana, apa yang harus
kita lakukan sekarang? Saya sendiri sudah berada dalam perangkap mereka,’ ucap
Wali Negara.” (hal. 360)
Akibat
difitnah, sampai wafatnya Tengku Hasan di Tiro, dr. Husaini tidak bisa menemui
Tengku Hasan di Tiro kecuali pertemuan tak disengaja di sebuah swalayan. Kubu
Malik-Zaini seolah sengaja menjauhkan Wali Negara darinya. Menjelang perjanjian
Helsinky, 2005, Wali Negara berkali-kali minta dipanggilkan dr. Husaini, tapi
tidak pernah dilakukan.
“‘Di mana dokter Husaini, mengapa
belum datang?’ tanya Tengku Hasan M. di Tiro lagi pada pertemuan selanjutnya.
‘Kami sudah memberitahu dia supaya
datang menjumpai Tengku, tetapi lewat telepon, ia mengatakan tidak mau datang
dan tidak peduli lagi tentang Aceh Merdeka!’ ucap mereka menipu Wali Negara.”
(hal. 402)
Ini
membuktikan betapa politik kotor tidak hanya ada pada sebuah negara yang
merdeka, tapi juga meracuni sebuah organanisasi yang sedang mencari
kemerdekaan.
Dengan
ditandatanganinya perjanjian Hensinky, pergerakan Aceh Merdeka berakhir.
Hasilnya mungkin tidak sesuai keinginan dr. Husaini yang menginginkan Aceh
merdeka, lepas dari Indonesia. Tapi, bukan berarti dia harus tidak mematuhi
perjanjian tersebut. Sebab, seperti yang dinasihatkan Hj. Azimar, janda pejuang
GAM yang dimuat pada bagian akhir buku ini: “Tuhan
tidak memberikan yang kamu inginkan, tapi memberikan yang kamu butuhkan” (hal.
473).
Mungkin,
Tuhan memang memutuskan bahwa Aceh sebagai bagian dari NKRI adalah yang
terbaik.