Cinta itu mutlak ada dalam kehidupan. Tapi, apa itu cinta? Itu adalah misteri. Semua orang pasti pernah merasakan, bertemu, atau minimal bersinggungan dengan sesuatu hal yang bernama cinta. Tapi, mengapa banyak orang masih bertanya. Apa itu cinta?
Pada dasarnya, harusnya semua orang bisa menjawab pertanyaan itu. Apa itu cinta? Tapi, mengapa masih sering terdengar pertanyaan itu. Bukankah orang yang bertanya "Apa itu cinta?" adalah justru orang yang sedang jatuh cinta? Maka harusnya mereka tinggal memejamkan mata, berpikir, dan merasakan, hingga akhirnya menemukan sendiri jawabannya. Apa itu cinta?
Jika di pikir-pikir lagi, maka sebenarnya pertanyaan itu keliru. Bukankah seringkali sebuah pertanyaan diajukan, tapi sebenarnya jawaban yang dicari bukan jawaban pertanyaan itu, melainkan sesuatu yang implisit di dalamnya?
"Apa itu cinta?" adalah pertanyaan bullshit yang tidak lebih dari sekedar dummy. Hanya suatu ungkapan eksplisist yang menyembunyikan pertanyaan sebenarnya. Pertanyaan sebenarnya: "Aku sedang jatuh cinta, tapi mengapa aku merasa sakit, padahal mereka bilang cinta itu indah?"
Mungkin begitu.
Sebab, itu yang aku rasakan, "Mengapa aku merasa sakit ketika jatuh cinta, padahal mereka bilang cinta itu indah?"""
Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com
Diskusi Warung Kopi (dot) Blogspot (dot) com
Sabtu, 26 Januari 2013
Jumat, 04 Januari 2013
Tawaran Untuk Para Remaja
(Kecuali bagian yang tercetak merah ini, seluruh isi tulisan berikut merupakan kutipan langsung tulisan Huhaji Fikriono dalam “Puncak Maksifat Jawa – Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram”, Noura Books: 2012, halaman 368-371 dengan judul yang sama. Penulis buku tersebut sendiri menyadurnya dari ceramah Ki Ageng Suryomentaram untuk para remaja yang berudul “Sikap Pemuda-Pemudi dalam Masyarakat yang Bobrok. “Falsafat Hidup Bahagia” Jild 3, hal 105-107.)

Penyebab perselisihan kami para orang tua adalah karena kami suka
berebut. Kami saling memperebutkan benda-benda untuk menutupi diri kami supaya
tidak terlihat dengan telanjang oleh orang lain, juga oleh diri kami sendiri.
Benda-benda yang kami perebutkan itu hanyalah untuk menutupi diri kami, dari
pengelihatan orang lain dan diri kami sendiri.
Misalnya, kami tengah mengenakan pakaian bermerek, mobil bermerek, dan
baru saja membeli sebuah rumah atau apartemen di kawasan elit maka kami pun
lantas berjalan tegak di hadapan orang banyak dengan perasaan bangga karena merasa
diri kami telah menjadi elit dan bermerek sebagaimana pakaian yang kami kenakan
atau barang-barang yang baru saja kami beli. Setiap kali kami berpapasan dengan
kolega kami, tanpa mereka minta kami akan bercerita bahwa mobil kami baru,
keluaran terbaru dari pabrik anu, sehingga anu, dan menjadi paling anu, sembari
merasa bahwa diri kami juga turut menjadi baru dan keren seperti citra mobil
baru itu. Padahal kami sebagai pribadi sama sekali tak pernah baru. Bahkan ketika
kami berganti ágama baru” sekalipun, kami tidak pernah menjadi beru.
Karena hati kami demikian gelap, kami tak kunjung dapat menyadari diri
kami sendiri. Ketika kami memilih ideologi baru, isme batu, komunitas baru,
bahkan spiritualitas yang kami anggap baru, sesungguhnya kami hanya
menjadikannya sebagai kebanggaan semata. Meski dalam hati, kami merasa sudah
selaras dengan ideologi dan spiritualitas baru kami. Kami juga merasa sudah
dapat bersetia kawan, setidaknya dengan orang-orang dalam komunitas baru kami,
namun dalam praktiknya kami tetap hobi bertengkar. Bahkan spiritualitas baru
kami pun kami jadikan sebagai sarana peetengkaran. Begitu pula ideologi baru
kami, kami jadikan sebagai sarana untuk bermusuhan dengan golongan lain, bahkan
dengan bangsa lain.
Begitulah keadaan kami yang sesungguhnya, wahai para remaja.
Masing-masing kami tidak ada yang memiliki kesediaan untuk merasa sama dan
setara dengan orang lain. Jadi, perselisihan di antara kami sebenarnya adalah
ekspresi penolakan kami terhadap kebersamaan dan kesetaraan. Namun, secara
culas kami membungkus semua itu dengan berbagai doktrin, isme-isme, bahkan
dengan ajaran agama serta spiritualitasnya.
Tentu saja kami tidak pernah sungguh-sungguh mendalami spirit dalam
agama-agama kami, wahai para remaja .... Karena, jika kami sampai dapat
memahami spirit dalam agama-agama kami, tentunya kami akan dapat melihat dengan
jelas berbagai keburukan yang terus kami pelihara di dalam hati kami. Jadi,
mata batin kami memang tidak pernah terbuka, wahai para remaja.
Sekarang kalian semua telah mengetahui betapa buruknya hati kami, Kami
telah sedemikian serakah terhadap harta benda, kedudukan, serta
kekuasaan,sehingga kami senantiasa berebut di antara kami sendiri. Padahal
kalian sudah paham, bukan? Bahwa masyarakat terbentuk karena adanya hubungan
antarpribadi. Sebagai pribadi-pribadi kami masih terus-menerus berebut. Itu
berarti masyarakat yang terdiri dari kami orang-orang tua ini telah bobrok,
kalian mestinya dapat memperbaruinya. Atau, kalau belum mampu melakukan
pembaruan, setidaknya kalian tidak ikut-ikutan seperti kami yang sudah kolot
dan jadul ini. Itulah tawaran dari kami orang-orang tua yang telah bobrok ini,
Wahai Para Remaja.
Manusia sesungguhnya mengalami
revolisi semenjak dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Setelah berkeluarga revolusi
manusia seolah terhenti. Karena manusia mulai menyesuaikan diri dengan
masyarakat yang telah bobrok, dan kemudian ikut-ikutan menjadi bobrok. Jadi,
ketika para remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan mesyarakat yang ada
sekarang ini, berarti secara tidak langsung telah berkeinginan untuk ma’mum menjadi bobrok. Setelah kalian
kerkeluarga nanti, kalian pasti akan segera dibujuk orang-orang tua untuk turut
aktif berpartisipasi guna memperkokoh masyarakat yang sudah bobrok. Awalnya
mungkin kalianhanya diundang untukmenghadiri berbagai perjamuan yang mereka
adakan. Namun, jika kalian tidak ngeh
dan waspada, kalian akan segera mereka ajak untuk berebutan dalam pesta
keserakahan yang tiada akhir.***
Langganan:
Postingan (Atom)